Crazy - 21

5.1K 509 10
                                    

REIN nyaris tertawa saat menemukan Irin sedang menatapnya waspada. Dia baru saja pulang kerja, bahkan dia masih menenteng tasnya. Dia juga masih bau keringat, belum sempat mandi apalagi sampai ganti pakaian.

Namun, Irin menyambut kedatangannya dengan tatapan waspada laksana seorang mangsa yang sedang mengawasi predator yang akan memburunya.

Rein tersenyum simpul. Dia mendekati istrinya yang langsung mengambil langkah mundur. "Lo kenapa sih, Rin?" tanyanya seperti biasa, seperti yang Irin minta sebagai syarat sebelum mereka bercinta.

Irin mendelik. "Masih bisa nanya lagi!" sewotnya.

"Jangan bilang lo takut gue minta lagi yang semalam, ya?" Rein menahan tawa yang ingin menyembur itu dengan sekuat tenaga. Apalagi saat dia melihat Irin hanya diam saja dengan wajah memerah luar biasa. "Tenang aja kali, gue nggak akan minta jatah sekarang, kok."

Irin menyipitkan mata dan langsung memandanginya dengan tatapan tidak percaya. "Serius?"

Rein mengangguk, lalu tersenyum lebar. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa geli yang menggelitik hatinya saat ini saat dengan perlahan dia menipiskan jarak di antara mereka.

"Gue aja baru pulang, Rin. Belum sempat mandi, belum sempat ganti baju, dan masih bau keringat gini. Masa gue mau nempel-nempel lo dalam keadaan gue yang kayak gini?"

Namun, Irin langsung menjauhinya dengan cepat begitu tahu Rein sudah mulai mendekat. "Sekarang emang nggak, tapi lo pasti mau minta lagi nanti, kan?"

"Ya, enggak gitu juga kali. Hari ini gue mau istirahat, tidur nyaman di pelukan istri tersayang," jawabnya santai sekali.

Irin merasa pipinya memanas, warnanya pasti sudah merah busuk sekarang karena sejak tadi mereka membahas sesuatu yang sangat berbahaya untuknya.

Namun, jika dipikir-pikir ucapan Rein ada benarnya. Pria itu belum memejamkan matanya sejak kemarin. Dia pasti lelah, butuh istirahat, terutama tidur yang cukup. Jadi, mungkin malam ini dia akan aman—aman saja.

Irin berjengit saat merasakan embusan napas di samping telinganya. "Tapi kalau lo mau minta sekarang, gue siap dan sama sekali nggak keberatan buat ngasih pelayanan yang memuaskan, Rin."

Irin langsung mendelik ke samping, tepat ke arah Rein yang kini mengecup pelan pipinya. "Mesum!"

Rein hanya menyeringai. "Lagian lo lucu banget dari tadi. Segitu takutnya gue mintain jatah, ya?"

"Ya, salah lo sendiri sampai nggak punya aturan main kayak gitu! Gue sampai mikir buat minta cerai aja, tahu!" Irin menatapnya kesal.

Rein langsung bungkam saat mendengarnya lagi. Kenapa kata yang sudah beberapa hari terakhir ini terlupakan bisa muncul kembali ke permukaan? Apa karena dia yang ... keterlaluan. Dia memang sudah keterlaluan.

Rein memejamkan mata, mendesah panjang, kemudian bicara dengan pelan. "Sori, gue emang udah keterlaluan semalam."

Irin mematung. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari sana.

Rein mendesis pelan, kemudian kembali menjelaskan. "Gue udah lama nggak main. Jadi, gue sampai kelepasan kayak gitu semalam. Sori, lo pasti takut, ya?"

"Hah?!" Irin mengerjapkan matanya.

Dia memang takut, tapi bukan rasa takut seperti trauma. Dia takut tidak sanggup saat Rein meminta jatahnya lagi. Karena mereka pasti akan melakukannya sampai pagi dan membuatnya tidak sadarkan diri. Kedua rasa takut itu berbeda ... Irin tahu perbedaannya.

"Kalau lo takut sama gue gara-gara masalah semalam, bilang aja langsung sama gue. Gue nggak apa-apa kalau lo mau jujur. Malah lebih bagus, karena gue nggak suka kalau lo punya masalah dan malah lo pendam sendirian gitu." Rein masih terus menjelaskan, takut benar-benar Irin ingin berpisah dengannya hanya karena ia yang sudah keterlaluan saat minta jatah semalam.

"Hah, maksudnya gimana, sih?" Irin makin dongkol saja mendengarnya.

"Maksudnya ya gitu, kalau lo takut atau trauma—"

"Gue nggak trauma!" sangkal Irin cepat-cepat.

"Lah?"

"Oke, gue emang takut, tapi itu bukan trauma. Astaga, gimana ngejelasinnya, ya? Aduh!" Irin berdecak, bingung bagaimana harus menjelaskannya pada Rein. "Pokoknya itu bukan trauma, cuma kayak nggak siap aja gitu, lho, Rein! Paham nggak, sih?"

"Nggak siap kenapa?" Rein mengernyitkan dahinya, ganti bingung sendiri.

"Ya nggak siap, astaga! Kalau lo minta seks setiap hari dengan durasi sepanjang itu ... gue pasti bakalan mati, Rein!" Irin mengatakannya dengan rasa kesal dan ngeri secara bersamaan.

Rein mengerjap. Sepertinya dia hanya salah sangka saja. Dia pikir Irin takut, trauma, karena dia telah keterlaluan saat melakukannya. Namun sepertinya, Irin hanya takut kalau Rein melakukannya setiap hari saja.

Rein tersenyum tipis, dia menghela napas lega, kemudian mulai menjelaskan, "Kalau soal itu lo nggak perlu khawatir."

"Nggak perlu khawatir gimana? Kalau gue kenapa-kenapa karena seks, kan, ya ampun banget astaga!"

"Ya, jangan terlalu khawatir. Gue tahu batasnya, kok. Sumpah!"

"Bohong!"

"Serius, Rin, gue masih tahu batas. Lagian gue bukan hyperseks, jadi gue nggak perlu seks setiap hari. Cukup seminggu sekali aja, gue masih sanggup nahannya," akunya jujur.

"Seminggu sekali?" Irin mengernyitkan dahi.

Rein mengangguk serius. "Iya."

"Serius?"

Rein mengangguk.

"Lo nggak bohong, kan?"

"Enggak, astaga! Lo mau apa? Janji jari kelingking?"

Irin cemberut. "Kayak anak kecil!" Namun setelah itu dia bisa menghela napasnya lega. Setelah sejak tadi terus waspada, takut kalau-kalau Rein langsung menerkamnya.

Rein hanya tertawa. "Ya gimana, lo sulit banget buat percaya sama laki sendiri. Gue sampai takut waktu lo bahas cerai tadi. Gue pikir lo trauma, karena gue udah keterlaluan—"

Irin buru-buru menggeleng. "Lo emang keterlaluan, karena sampai kayak gitu, tapi nggak sampai bikin gue trauma. Gue tahu bedanya dan itu bukan karena gue trauma sama lo, cuma karena gue takut nggak siap dan nggak sanggup aja jadi lawan main lo."

"Kalau masalah itu gue udah jelasin tadi dan lo nggak usah terlalu mikirin lagi." Rein tersenyum manis. "Omong-omong, lo lawan main yang menyenangkan, Rin."

"Hah?!"

Maksudnya apa itu? Maksudnya Irin lebih menyenangkan dari wanita-wanita lain yang pernah menjadi lawan mainnya sebelum ini gitu?

Sedang Rein hanya diam saja. Dia tidak ingin menjawabnya. Namun, ada satu hal yang kini dia ketahui dengan pasti yakni ... Irin pernah trauma dan itu jelas bukan jenis trauma biasa.

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang