Crazy - 48

2K 204 15
                                    

"LO lagi di mana?" Adalah tanya pertama begitu telepon di antara mereka terhubung.

Irin baru saja meninggalkan rumah Jake dan Syila. Dia izin pulang setelah menolak diajak makan siang bersama. Bukan karena dia tidak nyaman berada di sana, melainkan karena merasa tidak enak lantaran nyaris setiap hari dia mengunjungi rumah adik iparnya dan makan siang bersama mereka.

Sudah seperti tamu yang datangnya hanya untuk makan siang saja.

Selama ini Irin memang tidak punya kerjaan. Dia tidak punya kesibukan. Setiap hari dia mencari kegiatannya sendiri dan menyibukkan dirinya sendiri dengan cara berpindah tempat ke sana kemari.

Namun, karena akhir-akhir ini dia tertarik pada Syila dan kehamilannya, makanya Irin selalu datang mengunjungi adik ipar sekaligus teman baiknya itu.

"Baru aja naik taksi buat nyari tempat makan siang. Emang kenapa, Rein?" Irin menoleh ke luar jendela, taksi sudah dia dapat dan mulai merayap memasuki jalan utama meninggalkan kediaman Adytama.

"Hm ... kalau lo lagi ada di deket-deket sini, rencananya gue mau ngajak lo makan siang bareng." Ada ragu di balik nada suaranya. Irin bisa mengetahuinya dengan baik, karena mereka sudah kenal lama.

Irin mengernyitkan dahi. "Emang lo nggak sibuk, Rein?"

Selama setahun terakhir, Irin menahan diri untuk tidak menghampiri suaminya itu di tempat kerja. Dia takut Rein merasa risi, karena kesannya Irin seperti tengah mengawasinya setiap hari. Iri takut Rein menganggap Irin tidak mempercayainya lagi. Dan masih banyak asumsi buruk lainnya yang membuat Irin lebih memilih mengurungkan niatnya.

"Kan bentar lagi udah masuk jam makan siang, Rin?"

Irin mengangguk. "Ah, iya juga, tapi kalau mau ngajak makan di luar, bukannya lo harus jalan jauh dari tempat kerja lo, ya?"

"Emang sih, tapi selama beberapa hari ke depan gue kan lagi kerja lapangan. Jadi emang kerjanya di luar." Rein tiba-tiba meringis. "Itu pun kalau lo nggak keberatan makan siang sama gue yang bau keringat dan kelihatan dekil karena abis panas-panasan ini."

Irin hanya bisa tersenyum mendengarnya. "Emang sedekil apa sih lo yang abis panas-panasan gitu? Gue jadi penasaran dan pengen lihat sendiri, kan? Jarang-jarang seorang Reinhart Putra Gunawan bisa kelihatan dekil kayak anak kampungan, kan?"

Rein mendengkus keras. "Nggak usah ngejek, deh. Mending lo langsung ke sini aja, bentar lagi jam kerja gue juga selesai."

"Nggak jadi, deh. Gue tungguin di tempat makannya langsung aja gimana?"

"Gitu juga boleh, tapi lo nggak masalah kan kalau harus nungguin gue? Cuma bentar doang, kok."

"Okay. Gue nggak keberatan. Lagian gue emang lagi nggak punya kerjaan." Irin menghadap depan, jalan menuju apartemen mereka masih panjang dan lama.

"Nggak lama, paling cuma lima belas menitan aja."

"Iya-iya, emang nggak lama. Gue juga paling sepuluh menitan baru sampai sana. Sebutin aja lo mau makan siang di mana? Daripada gue gabut dan nyari sendiri di mana tempatnya?"

Rein menyebutkan sebuah nama restoran tak jauh dari lokasi tempat kerjanya beberapa hari terakhir ini.

Irin sontak mengernyitkan dahi, matanya menyipit, tubuhnya langsung berbalik untuk menatap ke kaca belakang taksi. "Maksud lo resto deket proyek yang baru dibangun itu?"

"Lo tahu tempatnya?"

"Iya, kan baru aja gue lewati." Irin mengernyitkan dahi. "Jangan bilang lo kerja di sana, jadi kulinya, ya?"

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang