REIN datang ke restoran itu dengan penuh semangat, karena jarang sekali dia bisa makan bersama istrinya siang-siang begini. Padahal mereka sudah menikah selama satu tahun lebih, tapi kenyataannya mereka memang belum pernah makan siang bersama kecuali saat Rein sedang libur kerja.
Rein memasuki restoran itu dan tatapannya langsung tertuju ke arah Irin juga seorang pria yang saat ini sedang duduk di depannya. Seperti menyadari kedatangannya, pria itu menoleh ke arahnya, mata pria itu memejam kemudian mengembuskan napas berat.
Rein menghentikan langkahnya. Dia jelas tahu siapa pria itu hanya dalam sekali lihat saja, karena tidak ada banyak hal yang berubah darinya. Dia masih terlihat sama, dengan wajah awet muda yang membuatnya tampak menggemaskan di depan mata siapa pun yang mengaguminya.
Akram Hardiansyah Putra. Kenapa pria yang kabarnya menghilang dan masuk ke dunia gelap mendadak muncul di sekitar istrinya? Kenapa dia bisa ada di sana? Sedang apakah dia? Apakah dia memang selalu mengawasi Irin sebelumnya?
Akram menunjuk ke arah Rein dan Irin langsung menoleh ke arahnya. Dengan ringan istrinya melambaikan tangan, memanggil Rein untuk ikut bergabung dengan mereka.
Irin melakukannya dengan wajah tanpa dosa. Senyum di bibirnya merekah dengan sempurna. Dia benar-benar tampak bahagia, berbanding terbalik dengan pria yang duduk di depannya. Dia tampak tertekan dan menderita lantaran harus duduk di sana.
Memang kenapa?
Apakah Akram takut membuat Rein salah sangka padanya? Walaupun itu memang benar adanya, karena dia pun sudah berpikiran macam-macam saat melihat kemunculannya.
Rein menarik napas panjang, kemudian melangkahkan kakinya mendekati mereka berdua. Akram langsung memalingkan muka begitu Rein berada di depannya.
"Lama nggak ketemu, Akram. Gimana kabar lo sekarang?" Dengan sengaja Rein memberikan satu kecupan di pipi Irin yang berhasil membuat istrinya memegangi bekas ciuman itu menggunakan tangan kanannya.
Akram mendesis pelan saat melihat interaksi itu dari ekor matanya. Tampak jelas dia tidak menyukai kemesraan yang terpampang di depan matanya sekarang.
Akram menghela napas pelan. "Kabar gue, lumayan. Dua peluru nyasar di perut, satu peluru nyasar di paha. Lumayan, kan?"
Baik Rein dan Irin langsung melotot mendengar pengakuan itu. Terutama Irin, karena sejak tadi Akram hanya diam saja walaupun Irin berhasil menahannya untuk berada satu meja dengannya. Padahal Irin selalu mengajaknya bicara, tapi responnya sama sekali tidak ada.
Rein menarik kursi, duduk di sebelah istrinya seraya berkata, "Lo ... beneran jadi mata-mata?" Rein sengaja memelankan nada suaranya di akhir kata, karena tatapan mata Akram berasa seperti akan membolongi kepalanya saat itu juga.
Akram mendengkus pelan. "Ya."
"Kalau lo emang kerja kayak gitu selama ini, kenapa lo bisa berkeliaran di sini? Sendirian lagi? Nggak takut mati?" Irin menatapnya sambil mengernyitkan dahi.
Akram memutar bola matanya, tampak malas saat menjawab, "Gue laper, ya makan, masa iya gue harus ngamen di jalan kalau kelaperan?"
Irin menggeleng pelan. "Salah itu, harusnya lo ngemis aja biar dapat makanan."
Akram menunjuk Irin menggunakan jari telunjuknya. Ekspresinya tampak kesal sekali saat bicara. "Selama ini lo kasih dia makan apa? Kenapa dia jadi makin-makin aja sekarang?"
Rein memutar bola matanya bosan. "Gue kasih makan orang."
"Pantes aja dia jadi kayak gitu." Akram mendengkus keras.
"Emang gue jadi kenapa? Perasaan gue kenapa-kenapa, deh?" Irin menatapnya tidak mengerti, Akram hanya geleng-geleng kepala, enggan memberikan jawaban apa pun padanya.
Mereka pun terdiam dalam waktu yang lama. Rein memutuskan untuk memesan makan siang, karena dia lapar. Irin pun ikut memesan makanan, kecuali Akram, karena dia sudah kenyang.
"Lo ... beneran udah putus sama Alea sekarang? Bukannya lo udah cinta mati sama dia, ya?" Rein bertanya setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi dari sana.
"Ya." Akram menghela napas sekali lagi.
"Cuma gitu doang reaksinya? Lo nggak ngerasa sakit hati atau kenapa gitu? Dia udah nikah sama orang lain sekarang, kan?" Irin tak kuasa menahan dirinya untuk tidak mengomeli Akram.
"Kenapa gue harus sakit hati, kalau itu pilihan terbaik dia buat saat ini." Akram memejamkan matanya, dia pasti sedang menahan diri untuk tidak mengamuk saat itu.
"Saat ini? Jadi, lo berencana buat rebut dia lagi kalau misi lo udah selesai?" Rein langsung menatap Akram yang kini lantas membalas tatapan matanya dengan tajam.
"Apa gue keliatan kayak orang senekat itu?" Akram mendesis saat mengatakannya. "Gue nggak tertarik ngerebut apa yang udah jadi milik orang lain, kalau gue emang suka kayak gitu, udah dari lama gue rebut kakak ipar gue sendiri."
Rein langsung melotot mendengarnya. "Jangan bilang lo-"
Akram mengerling. "Tenang aja, Alea bukan orang pertama yang harus gue lepasin dalam hidup gue."
"Gue nggak tahu lo pernah naksir sama kakak ipar lo sendiri, Ram?" komentar Irin yang membuat Akram mendengkus pelan.
"Karena nggak ada yang tahu masalah ini selain Kenzo, Calvin, sama Galang," jawabnya ringan, seperti masa lalu itu benar-benar sudah berhasil dia lupakan.
Rein mengernyitkan dahi. Dia kenal Kenzo dan Calvin, karena dua orang itu teman terdekat Akram sewaktu sekolah. Terutama si Kenzo, mereka berdua sudah seperti saudara sedarah.
Namun baru kali ini dia mendengar nama Galang dari mulut seorang Akram. Dia siapa?
"Galang siapa?" tanya Irin yang sudah kelewat penasaran.
"Temen abang gue." Akram hanya mengerling, lalu pesanan Rein dan Irin sampai. "Kalian makan siang aja berdua, gue mau pergi sekarang juga."
Irin ingin menahannya, tapi dia tidak punya alasan yang bisa membuat Akram untuk tetap diam di sana.
Rein sepertinya menyadari hal itu, karena kemudian dia berkata, "Buru-buru amat? Emang lo lagi punya kerjaan sekarang?"
"Ya, sebenernya gue lagi ngawasin adek gue dari tadi, terus gue laper dan makan di sini." Akram mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam. "Semoga nggak terlambat."
"Emang adek lo kenapa?" Rein tak kuasa mengernyitkan dahinya penasaran. "Adek lo ini, maksudnya si Vasha yang itu, kan?"
"Siapa lagi kalau bukan dia, kan adek gue cuma dia doang." Akram mendengkus pelan. "Vasha nggak kenapa-napa, cuma sempet bilang kalau ada yang ngawasin dia akhir-akhir ini. Gue cuma mau mastiin gimana keadaan dia di rumah sakit sekarang."
"Oh! Eh, di rumah sakit?" Rein menatapnya terkejut.
"Vasha sakit, Ram? Sakit apa?" Irin langsung menatapnya kaget.
Akram berdecak kesal. "Nggak sakit, cuma koas aja. Udah gue mau pamit, baik-baik aja lo berdua, jangan berantem!" Pesannya sebelum berdiri dan menghilang dari sana secepat kilat.
"Baik-baik aja, emang sebelumnya kita pernah berantem ya, Rein?" Irin menoleh ke arah suaminya yang kini sedang menyuap makanan. Mulutnya terbuka, tetapi makanannya tertahan di depan mulutnya. "Dih makan nggak ngajak-ngajak, nggak nungguin pula!"
"Cuma makan emang perlu diajak juga?" Rein menatap istrinya dengan ekspresi tidak habis pikir.
"Serah lo!" Irin terlihat kesal dan langsung memakan makanan pesanannya dengan wajah dongkol bukan main.
Sadar diri, kek! Kan katanya mau makan siang bareng, malah gue ditinggal makan duluan! Padahal udah gue bela-belain nunggu dari tadi sampai dia datang baru pesen makanan, eh malah ditinggal juga endingnya! Dasar nggak peka! gerutu Irin dalam hatinya.
Sedangkan Rein memakan makanannya dalam diam. Jam makan siangnya sebentar lagi selesai. Terlalu banyak bicara, dia sampai lupa waktu kalau setelah ini dia masih harus bekerja.
Rein sadar Irin sedang marah padanya, tapi sejujurnya dia juga marah pada istrinya. Walaupun apa yang terjadi siang ini bisa dihitung sebagai sebuah reuni lama, tapi tetap saja ... Rein bakal cemburu juga kalau melihat istrinya bersama seorang pria yang notabenenya adalah orang yang dicintai istrinya sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...