IRIN menggoyang-goyang bahu Rein yang sedang menyendok makan malamnya. Alhasil, Rein harus makan dengan susah payah, karena dia perlu menjaga keseimbangan sendoknya agar makanannya tidak jatuh ke meja.
"Maksud omongan lo tadi gimana sih, Rein? Gue nggak paham." Irin masih mencoba untuk mengejar.
Walaupun Rein sudah mengabaikannya sejak tadi, tapi ternyata dia keras kepala sekali. Irin terus memaksa Rein menjawab maksud dari kata-katanya sebelum ini.
"Omongan gue yang mana?" Rein balik bertanya, sembari menaruh sendok di atas piring dan menghentikan acara makan malamnya sejenak.
"Yang lo bilang, gue lawan main yang menyenangkan itu ... maksudnya gimana, sih?" Irin memperjelas maksudnya.
Wajahnya menunjukkan jika dia sedang penasaran tingkat dewa, bahkan kepolosan tatapan matanya itu membuat Rein ingin jadi ingin menodainya.
"Masa masih perlu dijelasin?" Rein lagi-lagi balik bertanya, kali ini dengan muka polos yang disengaja.
"Iyalah! Gue nggak paham, beneran!" desak Irin sembari menjatuhkan wajahnya ke meja, menghadap Rein yang kini jelas-jelas sedang menatap matanya.
Rein terdiam. Serius, dia perlu menjelaskan hal seperti itu? Tentang Irin yang sungguh di luar ekspetasinya selama ini? Tunggu ... kalau dia mengatakan yang sebenarnya, bukannya itu berarti dia akan mengakui seberapa kotornya isi pikirannya selama ini?
"Nggak ... nggak ... yang kayak gitu nggak perlu dijelasin juga harusnya lo udah paham apa maksudnya, Rin." Dia menolak menjawab, sungguh, dia tidak akan mau menjawabnya.
"Ayolah! Gue beneran nggak paham tahu! Coba jelasin lagi, diperjelas dikiiittt aja biar otak gue nyampek!" Irin menatapnya dengan wajah memelas.
Rein menelan ludahnya susah payah, kemudian menggeleng pelan. "Ya udah!"
"Ya udah apa? Ya udah gue jelasin lagi, atau ya udah lo nggak perlu tahu, gitu?" Irin langsung menatapnya sebal, karena Rein menjawabnya dengan kalimat yang menggantung di udara tiada lanjutannya.
Rein hanya menyeringai mendengar respon darinya. "Nah, itu lo udah pinter. Pokoknya ya ... lo yang terbaik dari semua yang pernah main sama gue—"
"Idih, gue nggak percaya! Mulut buaya mana mungkin bisa dipercaya! Itu paling-paling cuma omongan manis buaya kayak yang biasanya itu, kan?" Irin menatapnya tajam.
Rein hanya bisa tersenyum masam. "Sejak kapan gue bisa ngomong manis ke lo?"
Irin terdiam, kapan Rein pernah mengatakan hal manis padanya? Sepertinya hampir tidak pernah terjadi selama ini ....
"Hm ... iya, ya? Sejak kapan lo bisa ngomong manis kayak gitu ke gue, ya?" Irin terdiam, berpikir lama, kemudian bak lampu menyala, dia bicara dengan keras. "Ohh mungkin sejak kemarin!"
Rein langsung menatapnya tajam. "Ngaco! Mana ada yang kayak gitu? Abis seks langsung manis-manis—"
"Dih, banyak yang kayak gitu tahu!" Irin bersedekap dada, tampak puas dengan jawaban yang dia punya.
Rein hanya mendesah pasrah. "Kalau gue emang niat mau manis-manisan sama lo. Udah dari tadi gue buang lo-lo-gue ini," katanya mengingatkan.
Irin terdiam sekali lagi. Benar juga. Kalau Rein memang ingin yang manis-manis, maka panggilan seperti itu seharusnya sudah berubah, kan?
Lalu, saat membayangkan Rein akan memanggil aku-kamu dengannya ... kenapa malah terasa geli, ya?
"Kalaupun emang mau manis-manisan, sekarang kita nggak akan makan masakan lo. Gue pasti bakal bawa lo jalan, keluar, makan malam di restoran, kencan, atau apa pun itu. Sayangnya, karena gue udah ngantuk, kita makan di sini aja."
Rein melanjutkan makannya dengan wajah tanpa dosa saat Irin mencerna semua ucapannya. "Iya, juga, ya?"
"Sekarang udah paham, kan? Ya udah, gue mau tidur dulu."
Irin langsung kaget saat Rein mendorong kursinya ke belakang, lalu berdiri. Sontak saja dia memegangi kaus Rein yang berniat untuk pergi itu. "Masa lo udah mau tidur aja? Baru juga jam tujuh, Rein!" rengeknya.
Rein menguap, lalu menganggukkan kepalanya. "Gue ngantuk banget, Rin. Apalagi dari kemarin gue belum sempat tidur."
"Iya juga sih, tapi—"
"Nah, kalau gitu gue tidur duluan, ya?" pamitnya, tapi belum benar-benar pergi karena Irin masih memegangi kausnya.
Irin cemberut, dia memajukan bibirnya dan menatap Rein dengan ekspresi merajuk. "Temenin gue dulu ... sampai gue ngantuk!" pintanya, memelas.
"Gue udah nggak kuat, Rin. Gue temenin sambil rebahan di sofa, lo nonton tv gitu aja mau, ya?" tawarnya.
Irin mengangguk setuju. Begitu lebih baik, daripada dia menghabiskan waktu sendirian sambil nonton televisi, kan?
Namun, belum genap sepuluh menit setelah televisi menyala. Rein sudah menghilang ke alam mimpi. Dia bahkan tidak berkutik saat Irin meneriakinya ataupun memukul pelan perutnya. Benar-benar tidak sadarkan diri.
Irin mendesah panjang. Walaupun dia punya teman, tapi kalau begini ceritanya dia seperti hidup sendirian. Irin memperhatikan wajah tampan suaminya yang tidur lelap tanpa sedikit pun beban.
Irin duduk di atas lantai, menghadap wajah suaminya dan memperhatikan wajahnya dari dekat.
Rein memang tampan. Irin mengakuinya. Bahkan sejak lama. Dia juga menyukainya. Tentu saja, Rein itu baik. Walaupun mulutnya kadang pedas dan suka terang-terangan, tapi Rein selalu menuruti apa pun yang Irin katakan.
Rein yang selalu mengalah, Rein yang selalu tersenyum, dan Rein selalu menjadi orang yang akan Irin cari setiap hari layaknya keluarganya sendiri.
Hingga semuanya berubah ....
Suatu hari Rein pernah menyatakan perasaan padanya. Entah itu hanya lelucon saja atau memang kenyataan yang sebenarnya, tapi Irin tidak menginginkannya.
Dia tidak ingin hubungannya dengan Rein berubah. Dia menyukai Rein yang menjadi temannya, Rein yang selalu ada untuknya, tersenyum padanya, dan selalu menemaninya. Irin sangat menyukai Rein yang seperti itu.
Oleh sebah itu Irin tidak bisa menerima perasaan cintanya. Dia tidak mau hubungan mereka berubah, lalu berakhir dengan kata mantan yang menyakitkan. Karena setelah berubah menjadi mantan pacar, mereka tidak akan pernah menjadi sama seperti sebelumnya.
Setelah itu, Irin mulai menjauhinya. Dia membuka hatinya dan mencoba mencintai laki-laki pertama yang menurut Irin sangat menarik di matanya. Kemudian Freya datang padanya dan berkata, jika Rein adalah pacarnya.
Alasan yang sangat-sangat cukup bagi Irin untuk mulai menjauhi Rein, teman masa kecilnya yang begitu berharga.
Lalu, peristiwa itu memperparah semuanya.
Dia tidak bisa menemui Rein lagi. Dia tidak sanggup melakukannya. Walaupun dia sangat membutuhkan laki-laki itu lebih dari dia membutuhkan Akram yang saat itu ada di hatinya.
Irin butuh Rein. Dia butuh senyumannya. Dia butuh tawanya, juga tutur katanya yang terang-terangan dan apa adanya.
Dia butuh Rein, tapi dia tidak bisa mencarinya. Dia juga tidak bisa menemuinya. Tidak ... dia hanya tidak berani bertemu kembali dengannya.
"Andai gue nerima lo waktu itu, mungkin nggak kita masih bisa kayak gini sekarang, Rein?"
Tidak.
Tentu saja tidak.
Mereka akan putus. Hubungan itu akan berakhir dan menjadi sangat canggung untuk keduanya.
Sekalipun mereka bisa menikah, tapi ... pernikahan itu jelas akan berisikan kecanggungan yang tidak ada akhirnya.
___emmm___
Apa ini? 🤧
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Marriage
RomanceBagi Rein yang selama ini menyimpan rasa suka pada sahabat masa kecilnya. Pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa dan patut dicoba. Namun untuk Irin, pernikahan ini hanya akan menjadi percobaan belaka. "Kalau dua bulan kemudian gue nggak...