Crazy - 42

2.5K 276 9
                                    

MUNGKIN apa yang terjadi pagi ini hanyalah mimpi. Walaupun dia tahu pasti jika semua itu bukanlah mimpi apalagi sebuah ilusi, nyatanya dia tidak bisa mengatakan apa pun tentang apa yang sudah terjadi pagi tadi.

Rein bersikap biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya. Irin pun mencoba melakukan hal serupa, berpura-pura jika pagi ini tidak pernah ada, walau isi hati dan pikirannya jelas berusaha untuk menyangkal semuanya.

Karena Irin masih bisa mengingatnya. Suara pelan yang terdengar dalam sarat akan rasa takut ditinggalkan. Pelukan erat yang terasa tidak akan pernah dilepaskan. Juga tatapan mata sayu yang tampak menyimpan luka sarat akan ketakutan.

Irin tidak akan bisa melupakannya begitu saja, karena pada saat itu ... dia merasa seperti sedang bercermin. Dia seperti sedang melihat dirinya di masa lalu.

"Hari ini lo mau ke mana?" Rein bertanya sembari menyantap sarapan yang baru dibuat Irin beberapa saat lalu.

Irin mengangkat bahu. "Gue nggak tahu, soalnya belum kepikiran sama sekali. Mungkin gue bakalan main sana Syila lagi, mumpung apartemen kita sebelahan gini."

Rein mengangguk mengerti. "Kalau dia nggak ada di sebelah, coba cek ke lantai dua lima. Jake tinggal di sana, kadang-kadang." Rein meringis pelan.

"Kadang-kadang? Loh, gue baru tahu kalau Jake punya apartemen di sini juga!"

"Dia emang punya, tapi kadang-kadang aja ditempati. Dia lebih suka tinggal di sini," Rein tersenyum masam, "sekarang pindah ke apartemen Syila mungkin."

"Oh ... gue pikir tempat tinggal dia ada di tempat lain atau mungkin udah punya rumah sendiri gitu. Kan dia terkenal tuh, pasti banyak banget duitnya. Katanya juga, dia anak tunggal."

"Ya, mungkin aja dia emang udah punya rumah sendiri ...." Rein memperhatikan wajah istrinya lekat-lekat.

"Kenapa lo ngelihatin gue kayak gitu?" Irin mengernyitkan dahi, menatap suaminya penuh selidik.

"Gue cuma mikir, kira-kira lo mau punya rumah sendiri, nggak?"

Irin mengerjapkan kedua matanya, kaget mendapat pertanyaan seperti itu dari suaminya. Apakah itu yang membuat Rein berpikir jika Irin akan meninggalkannya saat dia menawarkan rumah untuk tempat tinggal mereka?

Rumah mereka, ya ....

Jika pernikahan mereka berawal dari sebuah perjodohan yang selalu berada di antara batas perceraian, tentu saja kata rumah mereka agak sedikit mengkhawatirkan. Rein pasti terlalu banyak memikirkan soal itu dan tanpa sadar membuatnya takut bila sampai ditinggalkan.

Walaupun Irin sama sekali tidak berniat meninggalkannya. Setelah semua ini. Setelah semua waktu yang mereka habiskan bersama. Serta kehangatan dan kenyamanan setiap kali Rein berada di dekatnya. Irin tentu tidak akan membuang semua yang selama ini dia cari begitu saja.

"Em, kayaknya gue belum pengen. Karena belum penting juga, kan?" Irin tersenyum tipis. "Lagian di sini aja cukup untuk kita berdua, kenapa kita harus beli rumah segala?" Dia mengatakannya dengan santai, berharap Rein tidak salah menanggapi ucapannya.

"Ya, biar enak aja, punya rumah sendiri, gitu." Rein berdeham pelan.

Irin menyipitkan kedua matanya. "Emangnya lo udah punya dana buat beli rumah? Gue sih nggak punya, makanya gue nggak masalah kalau cuma tinggal di apartemen. Gue yang penting itu cukup punya tempat tinggal yang nyaman aja."

Rein tersenyum tipis. "Ya kalau itu semua orang pasti mau, tapi kalau lo mau rumah, gue bakal usaha. Kalau cuma dana buat beli rumah sih, kayaknya gue masih ada."

"Dih, jangan maksa! Toh, kapan-kapan juga bisa. Dananya dikumpulin dulu aja. Gue juga belum kepikiran mau rumah kayak gimana." Irin langsung menasihatinya. Dia takut kalau Rein memaksakan diri dan langsung membeli rumah tanpa sepengetahuannya untuk sebuah kejutan ala-ala novel romansa.

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang