Bukan hal buruk jika merasa ada yang salah dengan diri sendiri. Kesadaran itu adalah permulaan yang hebat.
*****
Usai kejadian beberapa hari yang lalu, Nadia mencoba melewati harinya dengan baik-baik saja. Namun, gadis itu masih urung melakukan lebih. Pikirannya telah melambung tinggi, seolah beberapa terapis yang ditemukan di beberapa layanan online tidak ada yang cocok dengannya.
Ia tahu keputusannya salah. Namun, keadaannya yang cenderung takut kepada seseorang membuat Nadia selalu pilih-pilih dalam melakukan interaksi.
Gadis itu terdiam sejenak. Memiliki mental yang lemah membuatnya tidak bisa terusik dengan lontaran kalimat yang menyakitkan. Efeknya akan berimbas panjang seperti sekarang.
Jari lentiknya sesekali menekan keyboard laptop yang layarnya menampilkan google scholar untuk mencari tahu keadaannya. Lagi-lagi, ia tahu self diagnose tidak dibenarkan dalam kondisinya. Namun, Nadia rasa tidak ada pilihan lain yang bisa ia lakukan dalam waktu dekat selain hal ini.
Layar chrome memutih, beralih ke situs baru yang menampilkan beberapa jurnal, dan kembali terulang beberapa kali hingga akhirnya membuat Nadia menghela napasnya berat. Ia masih belum mengetahui apa yang terjadi dengan dirinya.
Ketukan pintu yang tiba-tiba mengusik kesibukannya membuat gadis itu mengerjap dan mendongak mencari sosok yang menciptakan suara tersebut.
"Nad, lo nggak lagi belajar, kan?" tanya Zahra yang baru tiba di kos setelah gadis itu menyelesaikan kegiatannya di kemahasiswaan.
Nadia menggeleng dan menutup laptopnya dengan cepat. "Enggak," jawabnya singkat, enggan menanggapi lebih karena ia tidak mungkin berkata yang sesungguhnya.
Zahra mengedikkan bahunya sekilas dan menyodorkan beberapa lembar slide power point yang telah dicetak. "Hand out dari Bu Mara buat pertemuan minggu depan. Tadi barusan dikirim lewat e-mail dan sekalian aja gue print. 'Kan lo tahu gue anaknya suka males kalau nyatet."
"Kok udah dikasih?" tanya Nadia heran. "Oh ... lo semakin di depan, ya, kalau urusan ini? Mau impress dosen buat masuk peminatan Epid?"
Zahra tergelak. "Tau aja, sih, Nad." Gadis itu mencebikkan bibirnya kesal saat melihat Nadia yang meresponsnya dengan dengkusan. "Oh iya, Nad, by the way ... thanks ya, udah mau repot-repot jadi partner PJMK Epidemiologi Penyakit Tidak Menular semester ini."
Nadia terdiam sejenak. Beberapa waktu yang lalu, Nadia memang diajak Zahra menjadi PJMK--Penanggung Jawab Mata Kuliah.
Awalnya ia sempat menolak, tetapi mengingat dirinya belum pernah menjadi PJMK di semester sebelumnya, pada akhirnya ia menyetujui ajakan Zahra. Toh, sepertinya Nadia akan dipermudah, karena Zahra yang mengurus segalanya demi mencari perhatian dosen-dosen dari peminatan Epidemiologi.
"Nad," tukas Zahra sekali lagi, ketika melihat Nadia masih duduk melamun di tempatnya.
Nadia mengerjap. "Iya, sama-sama. Daripada nanti gue disinisin sama anak kelas gara-gara nggak pernah berpartisipasi jadi PJMK, ya mending gue ikut lo."
"Yee dasar ... ya udah gue ke kamar dulu ya, Nad," ucap Zahra sambil mengayunkan langkahnya menuju pintu.
"Oh iya, jangan belajar terus. Gue tahu, kita hidup di dunia yang tidak sempurna sementara manusianya menuntut kesempurnaan. Nggak heran, kalau banyak orang yang ambisi." Gadis itu mengulas senyum tipisnya. "Termasuk gue."
Tidak langsung meresponsnya, Nadia memilih terdiam sejenak dan larut pada pikirannya. Gadis itu mengangguk. "Iya, Ra. Bawel, deh."
Sedetik kemudian, Zahra kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Ketika gadis itu benar-benar pergi, Nadia kembali melirik hand out di tangannya sambil sesekali mengembuskan napasnya panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...