29 - Menggantungkan Harapan

7.4K 1.2K 141
                                    

Akan ada saatnya kita bertemu pada titik terbaik menurut takdir.

*****

Raga benar-benar mengantarkan Nadia pulang ke Bandung, setelah gadis itu mengatur perasaan kalut akibat kabar buruk yang tengah menimpanya.

Setelah Nadia mendapatkan kabar jika ayahnya mengalami kecelakaan, ia benar-benar khawatir sekaligus kecewa karena dirinya menjadi orang terakhir yang tahu.

Mobil dan motor saling berebut ruang. Suara klakson dan bising kendaraan masih urung membuat keadaan hati gadis itu menjadi lebih baik. Pikiran Nadia kosong hingga membuatnya kehilangan kata-kata. Otaknya tidak mampu lagi berpikir jernih.

Selama dalam perjalanan, Nadia hanya duduk diam meremas tangan sembari melayangkan pandangannya ke jendela mobil. Sesuatu masih ingin memberontak keluar melalui sudut matanya.

Mobil yang mereka tumpangi tiba di area parkir rumah sakit tepat pada pukul setengah tujuh malam.

"Nad, udah sampai. Ayo," ucap Raga yang sebenarnya sia-sia, karena gadis yang duduk di sisi kirinya itu telah melepaskan seat belt dan hendak keluar.

Raga menyentuh pundak Nadia lembut, sekaligus berusaha menahannya. "Nad, salat dulu, yuk. Biar kamu tenang."

Nadia terdiam sejenak sembari membasahi bibir bawahnya. Gadis itu hampir melupakan kewajiban di tengah kekalutannya.

Nadia mengangguk. "Makasih, Ga, udah diingetin. Aku ... aku hampir lupa."

Raga tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.

Keduanya lantas beranjak turun dari mobil dan menuju ke masjid yang ada di sudut area rumah sakit. Keadaannya saat berjalan memasuki rumah sakit jauh dari kata siap. Gadis itu mencengkeram tali tasnya dengan erat seiring langkah kaki yang ia paksakan untuk berjalan.

Di sampingnya, Raga sesekali melirik ke arah Nadia, seolah memastikan gadis itu terlihat baik-baik saja.

Nadia tidak pernah merasa sesesak ini. Ia tidak bisa membayangkan jika suatu hal buruk akan menimpa ayahnya. Yang bisa ia lakukan saat ini, hanyalah menggantungkan harapan kepada satu-satunya yang berhak atas takdir seseorang.

"Nad," panggil Raga tatkala mereka telah selesai salat dan bertemu di pintu utama masjid.

Nadia mendongak dan mendapati adik pertamanya juga telah berdiri di samping Raga. "Ka, Ayah sekarang gimana keadaannya?" Mata yang masih basah itu kembali menitikkan air mata.

Raka terdiam sejenak. Terlihat dari raut wajahnya yang pias menunjukkan jika lelaki itu juga sama-sama terpukulnya. "Teh, kita harus sabar, ya ... Ayah pendarahan hebat dan butuh donor. Sementara, Teteh tahu sendiri kalau golongan darah Ayah itu langka."

Raga seakan hatinya ikut teriris melihat Nadia yang hampir limbung karena tidak mampu menahan tubuhnya. Tangannya yang semula diam lantas terulur dan mengusap pundak Nadia pelan.

"Kamu tenang dulu, ya, Nad. Kita cari bareng-bareng donor darah buat Ayah kamu," ucap Raga yang disambut oleh anggukan kepala dari Nadia.

"Uwa Thinni, kan, golongan darahnya sama, Ka. Uwa ke mana sekarang? Udah datang?" tanya Nadia dengan sorot mata yang penuh harap.

Uwa Thinni adalah kakak pertama Ayah Nadia.

Raka menggeleng. "Ibu kemarin habis bertengkar hebat sama Uwa."

"Kenapa bisa bertengkar, Ka? Terus Ibu nggak minta maaf?"

Raka menutup bibirnya rapat-rapat, lalu menggeleng. "Ibu nggak mau minta maaf karena Ibu nggak ngerasa salah, Teh."

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang