Usaha tidak selalu mendapatkan apresiasi. Terkadang, setiap usaha yang dinamakan proses itu adalah kesuksesan yang mahal harganya.
*****
Riuh rendah terdengar mengisi seluruh penjuru ruang publik tempat Nadia bekerja. Tidak perlu menunggu malam Minggu supaya kafe ini terlihat sesak, karena saat hari Kamis pun telah banyak yang berdatangan untuk melakukan kesibukannya masing-masing.
Nadia melirik ke arah seorang gadis yang duduk di sudut samping jendela. Gadis berambut hitam legam dengan kacamata klasik yang bertengger di hidungnya itu terlihat fokus pada layar laptop dengan jari yang sesekali menekan keyboard-nya.
Nadia menggelengkan kepalanya sekilas. Ngapain, sih, memilih kafe ramai untuk belajar? Sekalipun untuk mengerjakan tugas, pasti juga tidak akan fokus, gerutunya dalam hati.
Gadis yang kini sedang mengenakan apron cokelat itu terlonjak saat sebuah lengan menyenggolnya pelan. "Ngelihatin siapa, sih, Nad?"
Nadia meletakkan buku menu yang sejak tadi ia pegang dan memainkan buku-buku jarinya untuk meregangkan otot sebelum menjawab, "Nggak siapa-siapa."
Mira terkekeh. "Lihatin orang pacaran, ya?"
Nadia mengerutkan dahinya bingung. Namun, setelah ia menyadari jika meja di samping gadis yang sedari tadi ia pandangi adalah milik sepasang kekasih yang sedang berbincang dengan sesekali tertawa, Nadia buru-buru memutar tubuh menghadap Mira yang sedang tersenyum geli ke arahnya.
"Enggak, lah, Mir," elak Nadia. "Tuh, aku lihatin cewek yang lagi lihat laptop di pojok sana. Emangnya apa, sih, untungnya belajar di kafe?"
"Belajar di kafe biar dikatain gaul, Nad. Lagian aku yakin dia lagi nugas aja, kok, nggak belajar."
Nadia manggut-manggut walaupun ia masih tidak puas dengan jawaban tersebut. Namun, sebuah rekaman masa lalunya dengan Raga kembali berputar di kepalanya. Ia ingat jika dirinya juga pernah menemani Raga mengerjakan tugas di sebuah kafe.
"Kirain lagi lihat orang pacaran." Mira kembali berasumsi sembari mulai menggerakkan sebuah pena di tangannya.
Nadia yang sejak tadi masih menatap Mira lantas menggelengkan kepala sambil tersenyum singkat.
"Kamu ikutan part time memang nggak ganggu kamu pacaran, Nad?"
Walaupun arah pandang Nadia menghadap ke Mira, tetapi pikirannya mendadak kosong sehingga ia tidak tahu harus merespons apa selain melongo.
"Emangnya kamu nggak nge-date sama pacar?" tanya Mira lagi.
"Aku nggak punya pacar." Nadia tersenyum setelahnya. Entah mengapa ungkapan tersebut membuatnya lega setelah pagi tadi ia baru saja mengakhiri hubungannya.
Namun, ucapan Raga yang terakhir kali Nadia dengar kembali terlintas di pikirannya.
"Nad, aku masih di sini, di tempat ini, nungguin kamu balik."
Kalimat yang seakan-akan menunjukkan bukan hanya Nadia yang merasa sakit, tetapi ada sosok lain yang juga mendapatkan luka sama.
Lamunan Nadia terhenti saat tiba-tiba seorang wanita menghampirinya sembari membawa shoulder bag di tangannya.
"Kok, kalian masih di sini? Pulang Mir, Nad ... udah malam." Mbak Tara yang baru saja kembali ke kafe setelah beberapa waktu lalu memutuskan untuk pergi telah kembali.
Nadia mengerjap, sementara Mira lantas melirik jam tangan yang melingkar manis di tangan kirinya.
"Masih sore, kok, Mbak," jawab Mira enteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...