"Pada akhirnya, yang menyatukan setiap hubungan adalah percakapan." - Oscar Wilde.
*****
Ada hening yang cukup lama sehingga benda pipih di genggamannya masih urung bersuara.
Beberapa detik terakhir Nadia hanya menghela napasnya panjang berulang kali sebelum akhirnya berdeham sejenak dan berkata, "M-maaf, Mbak. T-tapi ini beneran mendadak."
Belum sempat Nadia mengontrol rasa takut mendengar omelan dari atasannya, tiba-tiba Mbak Tara terkekeh pelan sehingga membuat Nadia mengernyitkan dahinya bingung.
"Santai aja, Nad. Nggak usah gugup gitu." Nadia masih diam hingga akhirnya Mbak Tara kembali melanjutkan, "Iya, kamu boleh izin hari ini. Akhir-akhir ini kamu juga udah kerja terlalu keras, jadi sekalian aja istirahat, ya."
Mendengar jawaban dari wanita di seberang sana membuat Nadia melukiskan garis lengkung di bibirnya dengan sempurna. "Makasih banyak, Mbak."
Sambungan telepon telah diputuskan setelah Mbak Tara menjawab salam yang terakhir. Nadia berulang kali mengembuskan napasnya lega.
Akhir-akhir ini gadis itu sering memikirkan hal buruk di saat dirinya merasa ada yang mengganjal di hati, walaupun sebenarnya tidak ada masalah yang harus diselesaikan.
Perasaan Nadia ibarat selalu melihat seorang hakim yang siap mengetok palunya untuk memberi keputusan final kepada terdakwa, padahal sebenarnya palu itu masih tergeletak dan belum dilirik sama sekali.
Butuh waktu yang lebih lama bagi gadis itu untuk segera beringsut meninggalkan kamar mandi dan menghampiri Zahra yang telah menunggunya. Namun, baru beberapa langkah Nadia berjalan, sebuah suara membuatnya berbalik.
Bola matanya menangkap kehadiran seorang gadis berkulit pucat dengan rambut hitam sebahu sedang berlari ke arahnya.
"Kenapa, Zen?" tanya Nadia saat gadis itu telah di depannya. Sambil mengatur napasnya yang terengah-engah gadis itu terus menatap Nadia dengan penuh tanya.
"Nad, tugas artikel tentang leptospirosis bagian lo udah selesai, kan? Malem ini harus kelar, ya. Lusa udah presentasi soalnya."
"Artikel leptospirosis?"
Nadia semakin kebingungan dan berpikir apa yang telah dilewatkannya. Sementara, gadis bernama Zenith itu terlihat mengerutkan dahinya sambil menunggu Nadia memberikan jawaban yang membuatnya puas.
"Sorry, Zen. Tapi ini materi yang mana? Bukannya tugas kelompok Epidemiologi Penyakit Menular ini udah selesai, ya?"
"Beda tugas, Nad. Yang H5N1 kemarin, mah, udah kelar." Nadia yang awalnya kebingungan lantas mengerjap setelah mendengar ucapan Zenith yang terkesan menodongnya. "Lo kenapa, sih, akhir-akhir ini kelihatan ... gampangin anggota lain?"
"Gue nggak gampangin. Gue beneran lupa sama tugasnya, Zen," elak Nadia sekali lagi.
Zenith menggeleng dan tersenyum kecil. "Awalnya gue ngajak lo join ke kelompok karena gue tahu lo anak ambis yang nggak bakal rela nilainya cuma hasil numpang nama. Tapi, sekarang gue yakin kalau waktu itu salah ambil keputusan."
Nadia masih diam, seolah menunggu lawan bicaranya kembali melanjutkan.
Zenith tersenyum miris sekali lagi sambil mengarahkan pandangannya ke arah lain. "Ternyata lo enggak serajin dan sepinter yang gue kira, Nad." Gadis itu menghela napasnya kasar. "Pokoknya nanti malam terakhir kirim e-mail bagian tugas lo. Alamat e-mail juga udah gue kirim dua hari yang lalu, tapi sampai sekarang masih belum lo baca."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...