8 - Perseteruan Hati

8.5K 1.3K 177
                                    

Menyemangati diri sendiri saat sedang jatuh itu memang tidak mudah, tetapi harus tetap dilakukan karena yang bisa dan terus menemani hanya diri kita sendiri.

*****

Nadia melirik jam di sudut laptop yang menunjukkan pukul empat sore. Ia baru saja selesai membaca slide dari dosennya untuk mata kuliah yang akan diujikan besok. Ia menghela napasnya panjang, mencoba meresapi materi-materi yang telah ia pelajari supaya tidak membuatnya kesulitan mengerjakan seperti hari-hari yang lalu.

Pandangannya mengarah pada kamar Zahra yang masih tertutup rapat. Nadia yakin, gadis itu pasti masih ada di depan gedung DPR untuk menyuarakan aspirasinya. Namun, tanpa ia duga, Zahra tiba-tiba muncul di depan pintu kamar dengan tangan yang membawa almamater sembari mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Nad, gue nggak tahu gue harus gimana sekarang. Kayaknya gue mau nangis aja, deh." Zahra langsung berteriak seiring langkah kakinya yang mulai masuk ke kamar Nadia.

"Kenapa lo?" Nadia sontak menautkan alisnya bingung.

"Jadi, tadi gue sempet kepisah sama rombongan. Udah gitu mata gue perih banget kena gas air mata." Zahra mulai bercerita dan membuat Nadia langsung memasang wajah khawatirnya.

"Terus sekarang lo nggak apa-apa?"

"Jantung gue kayaknya udah nggak normal, Nad. Gue ketemu prince charming yang kayaknya sebentar lagi bakalan jadi my sweetheart di antara lautan mahasiswa yang kocar-kacir pas gas air mata mulai ditembakkan." Zahra mulai bercerita heboh.

Sementara Nadia, ia hanya melongo di tempat karena tidak tahu harus merespons apa setelah otaknya baru saja dipenuhi oleh tujuh bab mata kuliah Biomedik Dasar I.

"Dan ... lo harus tahu, cara dia memperlakukan seorang wanita, tuh, bikin langsung jatuh hati, Nad. Bayangin, tangan gue digandeng buat kabur waktu ada keributan. Belum lagi pas udah semuanya normal, dia nemenin gue nyari rombongan. Baik banget, kan?" Zahra masih mengatur napasnya yang kini mulai berangsur.

Melihat hanya ada respons senyuman dari Nadia, Zahra kembali bercerita. "Kayaknya gue emang harus say good bye sama Kak Rendra dan say hello sama anak Zenius ini, deh, Nad."

Setelah Zahra mengatakan kalimatnya yang terakhir, sontak membuat Nadia terpaku di tempat dengan tatapan gelisah. "Ze-zenius?"

Zahra mengangguk mantap. "Iya, Zenius University. Udah bukan jadi rahasia lagi, kalau anak-anak Zenius itu cakep-cakep dan tentunya ... tajir melintir." Gadis itu langsung meringis pada Nadia yang hanya menatapnya sepanjang ia bercerita.

"Satu lagi yang harus lo tahu, dia anak FK, Nad. Akhirnya doa gue di sepertiga malam terkabul juga." Zahra berkata dengan matanya yang berbinar.

Anak FK? Zenius University? Pikiran Nadia kini telah bercabang ke mana-mana. Ia menghela napasnya samar, mencoba meyakinkan dirinya jika sosok yang diceritakan oleh Zahra adalah orang lain, bukan Raga.

Zahra masih memasang senyum bahagianya dan lanjut berkata, "Oh iya, namanya Ra-"

Ucapan Zahra terpotong karena tiba-tiba ponselnya berbunyi. Senyum di bibirnya terlukis secara asimetris setelah melihat nama di layar ponselnya yang menyala.

Ra? Ra siapa? Nadia terus bertanya-tanya dalam hati.

"Halo?" balas Zahra dengan suara merdu, sangat jauh berbeda dengan suara ekspresif yang baru saja ia lontarkan pada Nadia.

"Iya, udah." Sesaat setelahnya, Zahra tiba-tiba berdiri dan memberi isyarat untuk kembali ke kamar.

Satu yang Nadia tahu, pasti itu adalah telepon dari lelaki yang baru saja Zahra ceritakan. Kenapa mereka cepat bertukar nomor telepon, bahkan setelah pertemuan pertama?

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang