Kita belum tentu bahagia dengan kebahagiaan orang lain. Namun, Tuhan yang paling paham bentuk kebahagiaan yang cocok dengan kita.
*****
Sisa aroma barbeque masih menguar memenuhi udara bebas yang melingkupi keluarga tersebut. Raga yang baru selesai melahap suapan terakhir daging beserta saus dan irisan bawang bombai, lantas menarik Nadia untuk memisahkan diri dari meja di mana keluarganya berkumpul.
"Duduk di sana, yuk!" ajak Raga sembari menunjuk sebuah bangku taman yang ada di salah satu sudut halaman.
Nadia akui, ia bukan seseorang yang bisa mudah berbaur dengan lingkungan dan orang baru dengan cepat. Namun, entah mengapa melihat keberadaannya di sini diterima dengan baik oleh keluarga Raga membuat gadis itu tidak berhenti tersenyum, sekalipun ia saat ini sudah menyandarkan punggungnya di bangku taman yang terpaut jarak beberapa meter dari tempat sebelumnya.
Tubuhnya seakan diselimuti oleh gelembung yang membuat hatinya menghangat saat bertukar cerita bersama mereka.
Senyuman itu seakan belum membuat Raga merasa tenang, sehingga lelaki itu memilih berkata, "Sorry ya, Nad."
Nadia menoleh dengan kernyitan di dahinya. "Kenapa?"
"Keluargaku pada heboh semua. Pasti tadi kamu pusing jawab pertanyaan mereka," ungkap Raga pada akhirnya, setelah beberapa waktu lalu ia hanya mampu mengamati Nadia yang sibuk menjawab beberapa pertanyaan dari keluarganya.
Nadia terkekeh pelan. "It's okay. Keluarga kamu baik-baik, kok. All of them." Ia terdiam sejenak sembari menatap keluarga Raga yang lain sambil tersenyum kecil. "Anyway, aku baru tahu kalau Bunda kamu dosen public health."
"Oh, ya?" Raga mengerjap. "Kamu ngira awalnya apa?"
"Ya aku tahu, sih, kalau Bunda kamu dosen. Tapi, jujur aku awalnya ngira dosen kedokteran juga. Secara, semua keluarga kamu fokus di sana."
"Bukan semua, Nad. Cuma keluarga inti aja yang kebanyakan dokter. Suami Tante Nana, banker. Terus, istri Bang Pandu itu accountant."
"Tunangannya Teh Runi?"
"Arsitek di Jakarta," jawab Raga yang dibalas oleh anggukan singkat dari Nadia.
"Bunda bachelor-nya emang ambil kedokteran makanya bisa ketemu Ayah, terus magister-nya Bunda baru beralih ke public health," lanjut Raga sambil menatap Nadia penuh makna.
Nadia manggut-manggut. "MPH di mana, Ga?"
"Di NUS."
Nadia hampir membeliak saat mendengar jawaban dari Raga. Nggak bisa ya keluarga mereka itu yang normal-normal aja?
Walaupun cukup lama Nadia mengenal Raga, tetapi baru kali ini ia mengetahui kehidupan keluarganya secara personal, setelah selama beberapa tahun terakhir, dirinya hanya sebatas tahu dari cerita Raga.
Namun, alih-alih mengungkapkan pikirannya, Nadia memilih bungkam. Pun, dengan Raga yang saat ini diam, sehingga keheningan kembali melingkupi mereka. Hingga beberapa menit kemudian, Raga yang membuka suara terlebih dahulu.
"Tahun lalu Ayah masih ikut ke sini." Lelaki itu terlihat menghela napasnya panjang selama beberapa kali. "Aku nggak pernah nyangka Ayah bisa pergi secepat ini."
Mata Raga hendak memanas, tetapi urung setelah tangannya diusap pelan oleh gadis yang duduk di sampingnya. "Ayah kamu pasti orang baik, Ga. Makanya, Tuhan lebih sayang sama Ayah kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...