Terlalu banyak waktu berharga yang terbuang sia-sia, jika terlalu berusaha mewujudkan ekspektasi orang lain tentang kita.
*****
Aroma kopi menguar di seluruh ruangan. Alunan musik yang lembut menentramkan pikiran, melepas beban dan penat sejenak. Mata Nadia menyapu ke seluruh area kafe. Bibirnya membentuk senyum tipis saat melihat suasana kafe yang ia sukai-tidak banyak lalu-lalang pengunjung lain.
Pandangannya mengarah ke cangkir lemon tea-nya yang belum ia sentuh sejak diantarkan sekitar sepuluh menit yang lalu. Nadia mendongak, menatap lelaki di depannya yang sedang sibuk dengan layar laptop dan bukunya secara bergantian.
Saat ini, Nadia memang sedang menemani Raga mengerjakan tugasnya. Kafe dengan suasana yang cukup sepi seperti ini adalah spot terbaik bagi Raga untuk menyelesaikan tugasnya.
Tangan Raga bergerak meraih cangkir americano-nya dan mulai mendekatkan ke mulutnya. Lelaki itu menghela napas setelah menyesap kopinya. "Ada yang pengen kamu sampein ke aku?" tanya Raga pelan sembari membenarkan kembali letak kacamata anti radiasinya.
Nadia terdiam sejenak lalu menggeleng.
"Atau ada yang mau kamu tanyain ke aku?" Raga kembali bertanya dengan ragu-ragu.
Lagi-lagi Nadia menggeleng disertai sebuah senyum tipis di wajahnya. Gadis itu mendongak hingga kini keduanya saling menatap. "Kamu lanjutin bikin laporan praktikumnya aja. 'Kan tugas aku di sini cuma nemenin kamu nugas, bukan ngerecokin kamu."
"Nad ... serius? Tatapan kamu beda banget sejak di dalam mobil tadi." Raga berusaha memastikannya lagi karena melihat air muka Nadia yang belum berubah.
Nadia tersenyum. "I am okay, Ga. Udah, ya ... cepet kerjain, gih."
Nyatanya aku jauh dari kata baik-baik saja.
Nadia terus mengamati lelaki di depannya yang tengah berkutat dengan laptop dan buku tebalnya. Gadis itu menghela napas dan membuka mulutnya, lalu menutupnya kembali.
Setelah berulang kali ia melakukan hal yang sama, Nadia tetap urung membuka suaranya. Ia mengarahkan atensinya ke luar jendela, menatap beberapa burung yang baru saja terbang meninggalkan sarangnya. Sementara tangannya mengetuk-ngetuk permukaan meja yang datar.
"Nad, aku ke toilet sebentar, ya?" pamit Raga sembari menepuk pelan puncak kepala Nadia saat ia hendak bangkit dari duduknya.
Sepeninggal Raga, ponsel Nadia yang ia letakkan di sebelah cangkirnya bergetar. Layarnya menampilkan sebuah nama yang membuat sudut bibirnya terangkat.
"Halo, Yah? Ayah apa kabar?" sapa Nadia setelah ia menekan icon hijau di layar dan ia tempelkan ke telinga.
Dahi Nadia mengernyit saat mendengar helaan napas yang lembut dari ayahnya. Namun, pikiran buruknya meluap begitu saja saat kembali mendengar suara ayahnya. "Nad, Ayah sama keluarga di sini baik-baik aja, kok. Kamu baik-baik aja, kan?"
"Nadia sehat juga, kok, Yah." Nadia terdiam sejenak, menunggu balasan dari ayahnya kembali. Namun, setelah beberapa detik ia tidak mendengar suara ayahnya, Nadia lantas bertanya, "Yah, ada apa?"
"Nad, kamu sudah makan?"
Nadia mengangguk yang sebenarnya juga sia-sia karena ayahnya tidak bisa melihatnya. "Sudah, kok, Yah."
"Nad ...," panggil ayahnya ragu-ragu, membuat Nadia mengginggit bibir bawahnya dan kembali membuang wajahnya ke luar jendela. Kekhawatirannya tentang keadaan di rumah kian menjadi saat mendengar suara ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...