Terkadang, banyak manusia yang lupa jika tugasnya di dunia ini bukan untuk mengatur. Banyak yang masih berekspektasi lebih untuk ke depannya, termasuk diri kita sendiri.
*****
"Nad, ayamnya habis ini goreng, ya! Ibu mau pergi."
Perintah pertama yang Nadia dengar dari ibunya di hari Minggu pagi menuju siang, mampu membuatnya keluar kamar dengan tergesa. Langkahnya terhenti di depan pintu saat melihat ibunya telah berpakaian rapi khas ibu-ibu sosialita.
"Ibu mau ke mana?" Nadia memberanikan diri untuk bertanya, karena melihat penampilan ibunya sudah jauh berbeda daripada enam bulan yang lalu.
"Mau arisan sama temen-temen, Ibu," jawab Ibu Nadia sambil terus berjalan keluar rumah. Namun, saat baru beberapa langkah, ibunya berbalik kembali. "Ayamnya digoreng, ya. Sayur sopnya udah ibu masakin buat makan siang. Kalau nggak kamu goreng, orang rumah bisa-bisa nggak makan ayam nanti."
"Iya, Bu," jawab Nadia pelan. Sebenarnya, masih banyak pertanyaan yang ingin Nadia tanyakan, tetapi dia urung dan memilih untuk mematuhi saja perintah ibunya.
"Oh iya, tadi Baim minta bantuan buat ngerjain PR-nya, tapi nanti kalau ibu pulang biasanya udah capek. Kamu aja, ya, yang ngajarin Baim. Jangan ayahmu, nanti Ibu dimaki-maki lagi sama saudaranya."
Ucapan panjang lebar yang keluar dari mulut ibunya sukses membuat Nadia tercekat. Gadis itu merasa, ia telah melewatkan banyak hal selama enam bulan tidak pulang ke rumah.
Selepas kepergian ibunya, Nadia mengedarkan pandangannya ke sudut rumah. Ia menghela napasnya lega karena tidak melihat keberadaan ayahnya di sekitar. Itu artinya, ayahnya tidak mendengarkan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh ibunya.
Namun, ia melihat Raka sedang berdiri di dekat televisi dengan mata yang menatapnya dalam diam. Nadia berjalan menuju tempat adiknya berada. "Raka ...."
Raka hanya tersenyum singkat pada Nadia.
"Ayah di mana?"
"Di belakang, Teh. Lagi cuci piring," jawab Raka membuat Nadia mengernyitkan dahinya bingung.
"Cuci piring? Bukannya udah dicuci Ibu sekalian waktu selesai masak?"
Raka menggeleng. "Katanya tadi Ibu buru-buru."
"Sejak kapan Ibu ikut acara-acara kayak gitu?" tanya Nadia pada akhirnya, walaupun tidak langsung ia tujukan kepada ibunya.
Raka mengembuskan napasnya kasar sebelum menjawab, "Udah sekitar tiga bulan yang lalu, semenjak Ibu punya HP baru."
"Kayaknya banyak yang aku lewatin ya, Ka?" Nadia menatap Raka yang saat ini seolah sedang menyembunyikan sesuatu. "Nggak apa-apa, kok, Ka. Enggak usah dijawab, Teteh udah tahu."
Tanpa menunggu Raka kembali membuka suaranya, Nadia berjalan menuju dapur untuk menghampiri ayahnya. Benar saja, ayahnya kini sedang mencuci piring dan peralatan masak yang baru saja dipakai dengan sesekali mengusap peluhnya yang menetes.
"Yah, biar Nadia aja," ucap Nadia sambil berusaha mengambil spons cuci piring di tangan ayahnya.
"Eh ... nggak usah, Nad. Bentar lagi selesai, kok, ini." Ayah Nadia menolaknya dengan lembut.
Nadia menggeleng saat melihat piring kotor yang masih menumpuk. "Itu masih banyak, Yah. Biar Nadia aja, ya?"
Setelah berulang kali Nadia merayu ayahnya, akhirnya kini ia yang melanjutkan mencuci piring, sementara ayahnya duduk di kursi yang ada di dapur tersebut.
"Maafin Nadia, Yah. Harusnya Nadia dari tadi nggak di kamar. Niatnya mau istirahat bentar soalnya habis cuci baju, jadi Ayah deh yang cuci piring."
Halim menghela napasnya sekilas sebelum menjawab ucapan anaknya. "Harusnya waktu liburan gini kamu nggak usah ngerjain pekerjaan rumah, tapi waktunya kamu istirahat setelah satu semester apa-apa sendiri selama di kos."
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
JugendliteraturCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...