31 - Sebuah Akhir Penantian

8.8K 1.2K 136
                                    

Terima kasih telah menjadi sosok yang menguatkan ketika tumbuh dengan pikiran yang tak selalu sejalan.

*****

Hari kelima pasca kecelakaan yang menimpa Ayah Nadia, pria itu kini telah diperbolehkan pulang. Dalam perjalanan, Nadia yang duduk di sebelah ayahnya seakan tidak luput untuk terus melirik pria yang sedarah dengannya itu.

Merasa tidak sampai hati melihat banyaknya luka pada tubuh ayahnya, gadis itu memilih untuk memejamkan mata. Namun, dalam pandangannya yang gelap, perkataan ibunya di rumah sakit beberapa hari lalu masih bergema di kepalanya.

Perihal memaafkan, Nadia selalu memaafkan ibunya tanpa diminta acap kali ia merasa kesal dan marah setelah ia mendapatkan omelan jika ada suatu hal yang tidak tepat.

Namun, untuk melupakan, rasanya sulit mengingat wanita itu akan melakukan hal yang sama setiap Nadia melalukan kesalahan.

Beberapa menit berlalu, setelah semua turun dari mobil dan mulai memasuki rumah--tepatnya saat Ibu Nadia tidak sengaja menggandeng tangan Baim--wanita itu tersentak karena merasa suhu tubuh Baim lebih tinggi daripada biasanya.

"Baim, sini bentar duduk dulu," titah wanita tersebut pada anak bungsunya. Perintah itu pun membuat semuanya refleks ikut menghentikan langkah.

Nadia dan Raka yang sebelumnya menuntun ayahnya masuk ke rumah, memutuskan untuk membantu ayahnya duduk di salah satu sofa di ruang tamu dengan penuh kesabaran.

Wanita itu kembali bergegas duduk di samping Baim setelah berhasil mengambil termometer dari laci yang ada di ruang tengah.

"Tuh, kan, apa Ibu bilang ... harusnya kamu nggak usah maksa mau nemenin Ayah di rumah sakit. Sekarang kamu sendiri yang sakit. Jangan bandel-bandel kalau dibilangin orang tua," omel wanita tersebut dengan alis yang tertaut setelah melihat angka yang tertulis di termometer.

Anak kecil yang usianya baru menginjak angka tujuh itu hanya mampu menundukkan kepala dalam-dalam seraya meremat kedua tangannya.

Kejadian yang wajar, mengingat seluruh isi rumah tidak ada yang berani membantah perkataan sang Ibu.

"Besok nggak usah sekolah, ya. Ibu bikinin surat izin."

Baim akhirnya mengangguk patuh, membuat ibunya kini beralih ke arah Fandi yang tengah berdiri mematung di tempatnya.

"Fandi, ambilkan kertas sama pena."

Namun, saat Fandi hendak melangkah menuju kamarnya, Nadia buru-buru mencegahnya. "Eh, bentar." Tangan Nadia mulai bergerak mencari sesuatu di dalam tasnya. "Ini Nadia bawa kertas, kok."

Gadis itu dengan cepat mengeluarkan kertas dari buku yang termasuk privasinya--buku bersampul kuning yang diberikan oleh Dokter Riana. Namun, gerakan tangannya yang terlalu gegabah membuat secarik kertas jatuh ke lantai begitu saja.

Belum sempat Nadia mengambilnya, sebuah tangan terulur lebih dahulu.

"Bu, jangan dibaca," pinta Nadia penuh harap saat melihat kertas yang jatuh telah berisi coretan tentang keluh kesahnya.

Namun, saat gadis itu hanya melihat tatapan datar dan tangan yang mulai bergerak untuk membalik sisi kertas yang terbalik, ia hanya mampu memejamkan mata kuat-kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas.

Sani kembali melirik anak sulungnya sekilas, sebelum seluruh atensinya terarah pada kertas yang ada di tangannya. Ia menghela napas panjang dan mulai membacanya dalam hati.

Aku bukannya ingin mengakhiri hidup. Tapi, jujur aku sudah lelah dengan semuanya. Sekeras apa pun aku berusaha, rasanya sulit sekali untuk bisa bertahan.

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang