Terkadang yang membuat tidak percaya diri bukan karena kalah rupawan. Namun, karena takut gagal memenuhi semua tuntutan tanggung jawab.
*****
Piranti kuliah dibereskan bersama dengan suara riuh lega yang terdengar dari kelas IKM 3A. Setelah instruksi dari Bu Mara yang selesai mengajar mata kuliah Manajemen Bencana, beberapa mahasiswa mulai berdesakan keluar pintu kelas.
Nadia baru saja hendak memanggul tas, ketika tiba-tiba sebuah suara mampu mengalihkan atensinya.
"Nadia, setelah ini ada kelas? Jika tidak ada, bisa temui saya di ruangan?" tanya Bu Mara yang dibalas oleh anggukan patuh dari Nadia.
"Baik, Bu."
Gadis itu bergeming sejenak, memikirkan segala kemungkinan bahasan yang akan ia dengar di ruangan dosennya itu. Mungkin, tidak akan jauh-jauh dari menanyakan keadaannya sekarang.
Nadia menoleh ke tempat Zahra sekaligus memberi isyarat untuk memintanya pulang terlebih dahulu. Setelahnya, ia segera beringsut meninggalkan kelas dan menuju gedung departemen Epidemiologi.
"Siang, Bu," ucap Nadia sopan setelah ia memasuki ruangan Bu Mara.
Bu Mara balas tersenyum. "Siang, silakan duduk," katanya sembari menunjuk kursi kosong di depannya.
Helaan napas berat kembali lolos dari mulutnya. Belum sempat Nadia merasa tenang, wanita berjilbab abu-abu di depannya itu mulai bertanya, "Jadi, bagaimana kabar kamu sekarang? Apakah sudah baik?"
Nadia terdiam ketika matanya mulai disapa oleh sorot mata lembut di depannya. "Sudah lebih baik daripada sebelumnya, Bu."
Bu Mara mengurai senyum. "Syukurlah. Saya senang mendengarnya." Wanita itu lantas mencari sesuatu di antara tumpukan kertasnya.
"Nadia, saya dengar saat SMA kamu aktif mengikuti lomba KIR, ya?"
Terlihat sorot mata terkejut dari Nadia, membuat wanita paruh baya itu kembali melanjutkan, "Saya tidak sengaja membaca CV kamu beberapa hari yang lalu."
Nadia manggut-manggut sambil terus memikirkan apa yang hendak dikatakan oleh dosen di depannya itu.
"Apa kamu tidak berminat membuat PKM? Tiga bulan yang akan datang, PIMNAS tahun ini akan dilaksanakan." Bu Mara menatap Nadia penuh harap sembari menyodorkan kertas yang berisi template PKM.
"Kamu tidak perlu mencari anggota kelompok, karena jika kamu bersedia, nanti akan Ibu gabungkan dengan kelompok kakak tingkat yang sudah ada." Melihat Nadia yang masing termangu di tempatnya, wanita itu kembali berkata, "Saya percaya kamu, karena saya melihat kamu punya potensi, Nadia."
Nadia meremas tangannya yang tak tampak di depan Bu Mara. Sejujurnya, gadis itu tidak tahu di tahap mana keadaannya sekarang. Terlalu fana untuk menyebutnya sudah sangat baik-baik saja dalam waktu yang sesingkat ini.
"Terima kasih, Bu, atas tawarannya." Ia menghela napas sejenak. "Namun, untuk saat ini saya belum bisa fokus terkait hal itu. Saya masih ingin berdamai dengan diri sendiri selama beberapa waktu."
Alih-alih melihat sorot mata kecewa dari wanita berkacamata di depannya, Nadia justru melihat seulas senyum hangat.
"Tidak apa-apa, Nadia. Saya paham tentang hal itu." Masih dengan senyum di wajahnya, wanita itu lanjut berkata, "Saya hanya ingin menawarkan kepada kamu, jikalau suatu hari nanti kamu berminat dan tidak keberatan membuat PKM."
Nadia tersenyum tipis. "Baik, Bu."
"Kamu boleh keluar. Template PKM sudah saya kirimkan ke e-mail kamu. Mungkin, suatu hari nanti kamu berminat, setidaknya kamu sudah ada bayangan terkait penyusunannya," jelas Bu Mara mengakhiri pertemuannya dengan Nadia kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...