22 - Malam yang Sesak

8.4K 1.1K 112
                                    

Sekuat apa pun pertahanannya, bila harus jatuh pasti akan jatuh.

*****

Raga baru saja bangkit dan berjalan ke pintu unitnya saat tiba-tiba seseorang di depan sana telah memencet bel. Sepersekian detik setelah lelaki itu berhasil melebarkan daun pintu, ia membuang napasnya kasar.

Namun, lelaki di depannya itu justru memasang wajah yang kontras--tersenyum lebar dan menampilkan sederet giginya.

"Lo nggak ada kerjaan banget, ya, malem-malem ke sini?" tanya Raga kesal sambil berjalan menuju meja makan.

Ia tahu jika Andra, tamu menyebalkan yang datang ke apartemennya selarut ini mengikutinya dan duduk di sofa. Raga segera meraih gelas dan water jug di meja--sesuatu yang ia butuh untuk meredam kekesalannya.

"Gue nginep di sini, ya, malem ini?" Andra tiba-tiba bertanya sembari meraih sebiji kuaci yang tergeletak di meja.

Gerakan Raga menuang air ke gelas terhenti dan segera membeliak. "Nggak! Apa-apaan .... Kos lo nggak ada jam malamnya, kan? Ngapain nginep di sini?"

Ada hening yang cukup lama setelah Andra hanya membalasnya dengan kekehan kecil. Waktu itu digunakan Raga untuk meneguk air yang baru ia tuang.

"Gue ketemu Nadia."

Air yang baru sampai mulutnya langsung ia teguk dengan kasar. "Oh," gumamnya pelan.

Andra yang melihat respons temannya itu lantas berdecak dan segera berdiri untuk mengampiri Raga. "Bener kata lo, dia tipe-tipe superwoman dan independent gitu lah menurut first impression gue."

Raga masih diam dan memilih bersikap acuh pada perkataan Andra.

Untuk kesekian kalinya, Andra berdecak dan melempar kulit kuaci ke wajah Raga. Lelaki itu sontak membeliak menahan kesal, tetapi Andra buru-buru berkata, "Kalau masih sayang itu datengin, minta maaf, dan ... balikan. Kelar masalah lo."

Raga membuang napasnya kasar. "Lo kira gampang?"

"Ya susah, sih ... tapi, kan, setidaknya lo usaha dulu. Siapa tahu--"

"Bahkan buat menata niat pun gue nggak bisa, Ndra. Masalah ini bener-bener susah buat gue selesaiin," lirih Raga, tidak lupa dengan napasnya yang mulai terembus kasar.

"Gue kadang kesel juga kenapa gue kenal sama orang yang namanya hampir sama kayak gue. That's why, gue ubah nama panggilan dari Rafa jadi Andra. Males banget kalau nanti dikira Upin-Ipin."

Raga masih diam dan mengabaikan ocehan lelaki di depannya. Sementara jarinya mengetuk permukaan meja dengan ritmenya sendiri.

"Solusi dari salah paham itu cuma satu, Ga. Penjelasan. Lo nggak mau nyesel gitu aja, kan?" Andra terdiam sejenak. "Waktu lo cerita sama gue udah pacaran tiga tahun lebih sama cewek, gue ngerasa lo bukan tipe-tipe womanizer dan akan selalu terpaku sama Nadia as your first and last love."

"Ndra."

"Hm?"

"I think so ... but, only a fool would take back someone who hurt them to much." Raga menatap lurus ke arah Andra, lalu kembali melanjutkan. "Kalimat dia yang terakhir udah buka pola pikir gue kalau gue nggak pernah jadi apa yang dia mau. Seolah apa pun yang gue lakuin itu selalu salah di matanya. Poinnya, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Nadia udah bikin gue sakit."

"Emang apa kalimat terakhirnya?"

"Dia bilang kalau dia udah nggak bisa lagi jadi tempat gue untuk pulang." Raga mengangkat kedua sudut bibirnya sekilas. "Di saat gue mau nunggu dia balik ... dia justru ngomong gitu. Udah jelas, kan?"

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang