Melepaskanmu adalah hal yang paling mustahil di hidupku. Walaupun perasaan ragu selalu ada, tetapi aku yakin itu hanya sementara.
*****
Hari ini memang hanya ada 2 sks, yang artinya setelah kelas Dasar Kesehatan Masyarakat, tidak ada lagi mata kuliah wajib yang harus diikuti oleh mahasiswa kelas A-kelas Nadia dan Zahra.
Nadia masih tertunduk lesu memikirkan wajah Pak Farhan yang memandanginya dengan tajam saat ia tidak bisa menjawab pertanyaan di kelas tadi. Semua materi hari ini juga hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri alias langsung hilang begitu saja.
"Pak Farhan bener-bener, ya. Masa baru menit pertama beliau masuk ruangan udah dibikin spot jantung. Emang dipikir kita punya otak robot yang bisa awet menyimpan memori?" Zahra tiba-tiba membuka suaranya untuk meluapkan segala keresahannya selama di kelas tadi.
Nadia hanya mengembuskan napasnya sekilas. Ingin rasanya gadis itu juga ikut berapi-api layaknya Zahra yang sedang mencebikkan bibirnya kesal di sampingnya, tetapi Nadia urung. Perasaan khawatirnya untuk tidak bisa memahami materi lebih besar daripada harus memikirkan kekesalan pada dosennya.
"Jangan-jangan yang diceritain sama Kak Sarah waktu sharing session itu Pak Farhan lagi? Kalau bener, gue harusnya lebih peka daripada sebelumnya biar tadi nggak serangan jantung di tempat." Zahra masih tetap meluapkan seluruh isinya, walaupun saat ini mereka masih ada di jalan.
Saat kaderisasi beberapa minggu yang lalu, tepatnya pada minggu kedua kaderisasi, setiap kelompok diberi kesempatan untuk melakukan sharing session bersama salah satu panitia kaderisasi. Nadia memang kebetulan satu kelompok dengan Zahra, yang melakukan sharing bersama Kak Sarah.
"Mungkin emang irit bicara dan tatapan tajamnya udah bukan rahasia lagi di mata kating, Ra." Nadia akhirnya membalas keluhan Zahra dengan jawaban sekenanya.
Zahra mengembuskan napasnya berat, walaupun sebenarnya di hatinya masih banyak kata-kata gelap yang ingin ia utarakan, terlihat dari wajahnya yang masih masam.
"Beli makan dulu, yuk? Laper nih," ajak Zahra kemudian, melupakan obrolan tentang Pak Farhan yang sebenarnya tidak ada habisnya.
Nadia melirik ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas, lalu menjawab, "Nanggung, nanti aja agak siangan."
"Enggak apa-apa, dong! Brunch ala-ala. Enaknya makan apa, ya? Ayam penyet?"
"Bosen, Ra ... penyetan mulu. Pasti penyetan yang masuk gang itu, kan, yang lo maksud?" tebak Nadia tepat sasaran membuat Zahra langsung menampilkan sederet giginya.
Namun, langkah mereka terhenti saat Nadia kembali berkata, "Pagi-pagi masa makan pedes, Ra? Belum sarapan lagi. Soto yang deket kos aja, yuk! Kasihan perut lo."
"Ya udah, iya. Dibungkus aja, ya? Biar gibah Pak Farhan tetep lanjut!" ucap Zahra dengan semangat 45.
Nadia terkekeh pelan. "Terserah, lo!"
Kehadiran Zahra dalam hidup Nadia selama berkuliah di sini, membuat gadis itu melupakan segala permasalahan hati yang setiap hari selalu menghantuinya.
Walaupun rasa khawatirnya tidak akan hilang seratus persen, karena saat malam hari, Nadia tetap akan memikirkan sesuatu yang seharusnya tidak ia pikirkan.
*****
Tidak sampai sepuluh menit, mangkuk soto yang ada di depan Zahra telah bersih tak tersisa hingga membuat Nadia menatapnya dengan heran. Gadis itu membandingkan dengan mangkuknya yang kini masih tersisa separuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...