Jika sejak awal kita sudah senang mengerjakan sesuatu, pasti hasilnya akan menjadi baik. Berbeda jika merasa terpaksa, semua akan terlihat menyeramkan saat kita tidak berhasil mencapainya.
*****
Seorang gadis sedang duduk di bangku bus yang entah sudah berapa rute ia lewati tanpa turun di halte pemberhentian. Tangannya memegang sebotol air mineral yang masih tersisa setengah. Jika biasanya Nadia lebih suka membeli sekaleng soft drink atau kopi kemasan, kini tubuhnya menolak. Ia tidak ingin ceritanya akan berakhir kembali di brankar rumah sakit.
Nadia memang memilih untuk berkeliling kampusnya daripada berdiam diri di kos dan hanya ditemani jurnal sebagai bahan bacaannya. Sementara Zahra, gadis itu sudah memisahkan diri sejak tadi siang karena sibuk rapat dengan anggota BEM yang lain mengingat bulan ini adalah acara dies natalis kampus.
Matanya yang sayu tidak luput memandang keluar jendela bus yang telah berembun karena sejak tadi siang hujan deras turun di kampusnya. Bangunan paling luas di kampusnya itu selalu menjadi objek pandangnya saat bus yang ia naiki melewati Balairung.
Apa aku bisa berada di dalamnya saat memakai toga kelak?
Balairung memang dijadikan tempat untuk peresmiannya menjadi mahasiswi baru tahun lalu, sekaligus tempat wisuda setelah berhasil menyelesaikan studinya.
Tubuh Nadia hampir saja terhuyung ke depan saat bus yang ia tumpangi tiba-tiba berhenti di Halte FH. Pandangannya yang sejak tadi terarah ke jendela beralih menatap gadis dengan rambut sebahu yang duduk di sampingnya setelah sebelumnya sempat menyunggingkan senyum kepada Nadia.
Nadia menelan ludahnya kasar tanpa membalas senyuman gadis tersebut. Ia hanya diam sambil meremas tutup botol air mineralnya.
"Turun di mana, Mbak?"
Nadia spontan menoleh saat ia yakin pertanyaan tersebut ditujukan kepadanya. Ia terdiam cukup lama mengingat dirinya tidak tahu di mana akan turun.
Beruntung, gadis di sampingnya itu terlebih dahulu berkata, "Aku turun di Halte Menwa. Kebetulan mau nunggu TransJakarta buat ke tempat kerja part time."
Nadia hanya manggut-manggut, karena kepalanya hanya diisi oleh angin kosong tanpa ada sedikit kosa kata yang bisa dirangkai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun, setelah beberapa saat diam, Nadia menegakkan tubuhnya ketika menyadari sesuatu.
"Kerja part time di mana, Mbak?" tanya Nadia antusias.
"Di kafe daerah Universitas Pancasila," jawabnya lembut. Kemudian, gadis berambut sebahu yang mengenakan jaket oversized denim berwarna light blue itu kembali bersuara. "Mau ikutan juga? Kebetulan memang owner kafenya lagi cari karyawan baru."
Tanpa pikir panjang, Nadia segera menganggukkan kepalanya mantap. "Mau."
Setidaknya, itu bisa membantu mengatasi masalah keuangan Nadia saat orang tuanya belum bisa mengirimkan uang saku.
"Rasanya nggak enak kalau belum kenalan, karena bingung harus manggil apa." Gadis di sampingnya itu mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Mira, Hukum 2020."
Nadia membalas uluran tangannya walau masih terlihat ragu-ragu. "Nadia, Kesmas 2020."
"Nah, kalau kayak gini, kan, enak." Gadis itu tersenyum lebar. "Kita seangkatan ternyata."
Nadia menganggukkan kepala. "Iya."
Mira masih terus menyunggingkan senyum manisnya pada Nadia. Sementara Nadia, ia balas tersenyum lalu kembali menghadap ke depan seraya merapatkan jaket corduray rosewood yang melekat di tubuhnya. Hujan sore ini membuat AC di bus juga menjadi dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...