27 - Kamu Berharga

8.7K 1.2K 133
                                    

Menunjukkan kesedihan kepada orang lain tidak membuat kita terlihat lemah.

*****

Nadia tidak tahu kenapa kakinya melangkah begitu saja tatkala sebuah tangan menariknya menuju kafetaria klinik.

Perasaan terkejutnya belum terjawab ketika Raga dan Dokter Riana yang membantunya akhir-akhir ini terlibat pada lingkaran keluarga yang sama.

Harusnya Nadia bisa memahami sejak awal, mengingat keluarga Raga tidak jauh-jauh dari profesi tersebut. Mungkin, keluarga besar lelaki itu bisa mendirikan rumah sakit sendiri.

"Aku pesenin kamu lemon tea. Seingatku kamu dulu pesen itu waktu terakhir kali kita jalan. Kalau kamu nggak suka, nanti biar aku pesenin yang lain," ucap Raga sembari meletakkan minuman tersebut dan duduk di seberang Nadia.

Tanpa menatap mata lelaki itu, Nadia menghela napasnya kasar. "Nggak apa-apa. Aku cuma sebentar."

Raga hanya mampu mengerjap beberapa saat, sebelum kembali bertanya, "Jadi, gimana kabar kamu sekarang?"

"Menyedihkan." Nadia tersenyum getir. "Bukannya udah kelihatan jelas ya, Ga, dengan datangnya aku ke sini?"

Raga menggeleng. "Aku juga datang ke sini, kan? Jadi, hal itu nggak jadi masalah, Nad."

"Kamu ke sini buat ketemu sama tante kamu, kan? Sementara, aku ke sini buat ketemu terapis," ungkap Nadia sarkas. "Artinya, keadaanku sama kamu jauh berbeda, Ga."

Raga menggeleng. "No, Nad." Ia menelan ludahnya kasar sebelum kembali berkata, "Kamu pasti nggak akan ngira kalau aku ke sini juga karena butuh psikoterapi."

Nadia berdecih pelan. "Bohong. Berhenti pura-pura terlihat menyedihkan demi ngehibur aku, Ga."

"Nad, please dengerin aku dulu." Raga berkata tegas, tetapi masih dengan suara yang rendah. "Kita sama-sama punya masalah. Nggak cuma kamu yang punya masalah, tapi aku juga punya, Nad."

Ucapan Raga mampu membuat Nadia menutup mulutnya rapat-rapat, lalu memilih untuk membuang tatapannya ke luar jendela.

"Ayah meninggal empat bulan lalu dan aku nggak bisa ngontrol emosiku di saat hari itu aku juga kehilangan kamu," jelas Raga dalam sekali helaan napas.

Nadia berusaha untuk tidak menunjukkan perubahan ekspresi apa pun dan memberanikan diri menatap lelaki di depannya. Ketika bola matanya jatuh di bola mata lelaki tersebut, sorot sendu milik lelaki itu sudah cukup menjelaskan jika dia memang sedang tidak baik-baik saja.

It must be hard for him.

"Raga." Untuk pertama kalinya selama beberapa menit terakhir akhirnya Nadia mampu memanggil nama itu kembali.

"I'm sorry, Ga. Aku ... nggak tahu. Sorry for your lost."

"Apa itu termasuk permintaan maaf karena hubungan kita, Nad?" tanya Raga membuat Nadia hanya mampu termangu di tempat.

"Jadi, kamu nyalahin aku?" Nadia menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Ga, apa kamu nggak sadar kalau masalah itu bukan hanya salah dari satu pihak aja? Kita berdua sama-sama salah, Ga."

"I know, Nad." Tatapan Raga masih menatap bola mata Nadia penuh arti. "Kita sebagai manusia emang tempatnya salah, kan?"

Nadia menghela napasnya selama beberapa saat. "Kenapa kamu nggak bilang yang sebenarnya hari itu?" Pertanyaan yang selama ini ada di pikiran Nadia akhirnya keluar di saat keduanya sedang bersitegang seperti sekarang.

"Soal Zahra?" tanya Raga yang disambut oleh anggukan kepala dari Nadia.

"Apa kamu yakin, kalau waktu itu aku ngejelasin, kamu mau percaya semua?" Setelah tidak ada jawaban apa pun dari Nadia, lelaki itu kembali berkata, "Kita lagi baik-baik aja kamu udah nggak pernah anggap aku, Nad. Apalagi di saat kamu lagi kalut? Aku ... udah nggak punya harapan."

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang