18 - Banyak Sedihnya

7.7K 1.2K 114
                                    

Kita sama-sama tahu jika hanya saling menyakiti. Namun, sepertinya kita lebih kuat menahan rasa sakit itu daripada memulainya sendiri lagi.

*****

Nadia baru saja keluar dari kosnya seiring dengan suara decitan khas pagar besi yang nyaring. Matanya menangkap kehadiran sosok lelaki jangkung yang akhir-akhir ini selalu mengganggu pikirannya.

Gadis itu mengembuskan napasnya kasar seiring langkah kaki yang berjalan mendekat ke tempat lelaki ber-hoodie abu misty yang lengannya diangkat hingga siku itu.

"Pagi, Nad," sapa Raga dengan hangat walaupun wajah Nadia sudah tidak menunjukkan ekspresi yang bersahabat.

Nadia mengangkat sudut bibirnya ke atas secara perlahan. Semilir angin yang terembus tanpa sengaja mengacak poninya hingga gadis itu kembali merapikannya terlebih dahulu sebelum menjawab, "Pagi."

"Kenapa?" tanya Raga heran saat tidak melihat wajah antusiasme dari Nadia. Bahkan, bisa diakui dirinya tidak puas dengan jawaban tersebut.

Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut, gadis yang rambutnya dikuncir satu ke belakang itu kembali melanjutkan ucapannya ketika Raga masih menautkan alis kebingungan. "Ya udah, deh. Ayo berangkat," ucapnya sambil berlalu masuk ke dalam mobil, meninggalkan Raga yang masih terpaku di posisinya.

Saat mobil Raga sudah keluar dari kompleks perumahan indekos Nadia, keduanya masih membungkam mulut seolah ada tembok besar yang sedang menghalangi mereka. Suasana jalan di pagi hari yang masih cukup lengang membuat keduanya semakin terjebak di atmosfer yang aneh itu.

Lelaki yang duduk di balik kemudi berdeham sejenak sebelum akhirnya memilih untuk membuka suara. "Kamu nggak bisa bohong sama aku, Nad. Ada apa?"

Tanpa mengalihkan pandangan yang masih terarah ke jalan, Nadia menjawab, "Kayaknya pertanyaan kamu setiap kita ketemu selalu sama, ya, Ga." Gadis itu terlihat mengulum senyum mirisnya. "Nggak apa-apa, lupakan."

Saat mendengar jawaban Nadia yang tidak tertebak itu, Raga kembali bertanya dengan konteks pertanyaan yang sebenarnya sama dengan sebelumnya. "Mau cerita? Nggak apa-apa kok, aku dengerin."

Sekalipun cerita itu tentang hubungan kita yang sudah di ujung tanduk?

"Iya, nanti aja waktu pulang biar nyantai," jawab Nadia final, melupakan penggalan pertanyaan yang baru saja terlintas di pikirannya.

Raga terlihat menimbang-nimbang sebelum akhirnya menganggukkan kepala. "Okay, but ...." Lelaki itu terlihat menggantungkan ucapannya, membuat pandangan Nadia yang sejak tadi menatap jalanan beralih ke samping kanannya.

"Make sure to tell me, ya, Nad," lanjut Raga penuh harap.

Nadia hanya mengangguk karena mobil Raga telah tiba di kawasan kampus. Selang beberapa saat, Raga mematikan mesin mobilnya tatkala telah tiba di depan stadion UI.

Saat Nadia keluar dari mobil, lagi-lagi ia mendengkus kesal. Suasana hatinya kian memburuk saat melihat banyaknya orang yang tumpah ruah memenuhi setiap sudut di sekitarnya. Bahkan, mobil-mobil yang terparkir di sepanjang ruas jalan, membuat Nadia semakin menahan kekesalannya.

"Ga, ini kita serius mau jogging?"

Raga terlihat mengernyitkan dahinya sejenak sebelum tangannya terulur untuk menepuk puncak kepala gadis di hadapannya dengan lembut. "Ya, serius, lah, Nad."

Nadia hanya tersenyum kaku, sehingga membuat Raga kembali berkata, "Buat apa aku pagi-pagi udah rapi kayak gini, kalau kita nggak mau ngapa-ngapain."

"Tapi, harus, ya, di sini?"

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang