30 - Sebuah Sandaran

8K 1.2K 139
                                    

Emosi adalah soal kita yang hanya peduli pada diri sendiri hingga mengabaikan hati orang lain yang mungkin tidak sejalan dengan kita.

*****

Luka-luka memang tidak pernah menjadi harapan bagi seseorang. Pun dengan Nadia yang kini memilih memejamkan mata sambil bersandar di dinding rumah sakit. Gadis itu menghela napas, berusaha mengatur dadanya yang masih terlalu sesak. Setidaknya, ia butuh sandaran untuk menolong dirinya sendiri dalam menahan luka.

"Teh, makan dulu. Ini dibelikan nasi goreng sama Ibu," ucap seseorang membuat Nadia membuka kedua matanya.

Nadia memandang styrofoam box yang disodorkan kepadanya. "Kamu nggak makan?"

"Udah makan tadi waktu Teteh belum sampai. Ini baru aja Ibu beli buat Teteh."

Ia termangu sejenak dan beralih ke kursi lain yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Ibunya tengah memandang ke arahnya dengan sorot mata yang tidak terbaca.

"Teh," panggil Raka kembali tatkala melihat Nadia masih mematung di tempat.

"Kalau nggak mau nggak usah dipaksa, Ka," kata ibunya di seberang sana dengan suara pelan, tetapi tetap terlihat tegas.

Nadia mengerjap. Ia menatap ibunya dalam, berharap wanita tersebut merasakan semua ketulusan hatinya. "Makasih, Bu."

Wanita yang berusia hampir setengah abad itu mengangguk singkat tanpa seulas senyum di bibirnya. Nadia memberanikan menatap wajah ibunya dalam-dalam seolah mencari suatu jawaban. Namun, hasilnya masih nihil. Ia sama sekali tidak bisa membaca raut wajah ibunya.

Nadia baru menelan beberapa suapan, ketika tiba-tiba seorang pria berjas putih khas dokter mulai manghampiri ibunya. Jantung Nadia nyaris berhenti berdetak di saat itu juga.

Gadis itu memilih meletakkan nasi gorengnya begitu saja dan ikut menghampiri. Mulutnya terus merapalkan doa supaya ia mendapatkan kabar baik.

"Selamat malam, Bu. Pak Halim telah mendapatkan pendonor. Setelah ini, akan dilakukan transfusi darah sesuai prosedur. Kemudian, akan dipantau selama lima belas menit pertama, apakah ada penolakan atau alergi dari tubuh Pak Halim. Jika tidak, kami dapat mempercepat prosesnya. Jadi, mohon doanya ya, Bu."

Terlihat embusan napas lega yang lolos dari mulut wanita tersebut. Wajahnya yang semula bersitegang lantas memudar begitu saja. "Terima kasih, Dok."

Nadia yang sedari tadi ikut menyimak di samping Tante Nuri lantas ikut tersenyum haru karena perasaan leganya. Sepeninggal sang dokter, ia melirik ke arah ibunya.

Wanita itu masih diam dengan ekspresi yang sama sekali tidak bisa Nadia pahami.

"Dilanjut lagi makannya. Sayang kalau nanti kebuang."

Nadia mengangguk patuh dan memilih untuk berlalu pergi. Ia tidak tahu lagi, harus dengan kata apa dirinya berkomunikasi dengan ibunya.

Walaupun gadis itu merasa tidak lagi berdaya untuk menghabiskan makannya, ia tetap melanjutkan. Raut wajah ibunya yang sedikit melunak dari beberapa waktu lalu, masih membuatnya khawatir dan tetap berjaga-jaga untuk tidak membuat kesalahan kecil yang bisa membuat wanita itu marah.

Waktu terus berjalan hingga melewati dari menit yang dijanjikan oleh sang dokter. Sudah lewat lima belas menit, tetapi tidak ada satu pun tenaga medis yang keluar. Nadia semakin memikirkan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, walaupun telah berusaha ia tepis.

Gadis itu meremat jari-jari tangannya lagi. Dingin besi kursi yang ia duduki menyentuh kulit hingga membuat tulangnya terasa ngilu. Ia masih berusaha meredam segala ketakutan yang meremas dadanya dengan pilu.

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang