Kebahagiaan yang didapatkan terkadang akan menjadi biasa saja dan tidak ada maknanya jika kita selalu berharap lebih.
*****
Pulang ke rumah memang menjadi hal yang menyenangkan bagi orang-orang yang merantau--termasuk Nadia, untuk beristirahat sejenak dan melepas penat selama di perantauan.
Sebenarnya, bisa saja Nadia pulang sekitar dua minggu sekali, tetapi ia urung karena saat hendak kembali ke kos, ayahnya selalu memberinya uang saku tambahan walaupun uang Nadia masih cukup. Keinginan Nadia masih sama, ia tidak mau terlalu menyusahkan dan menghabiskan uang orang tuanya.
Nadia menghela napasnya gusar saat kakinya mulai berpijak pada rumput halaman rumahnya. Tiga bulan belum mengubah keadaan fisik rumahnya, tetapi Nadia tidak tahu apakah telah mengubah orang-orang di dalamnya. Semoga saja tidak.
"Teh, Nadia!"
Nadia sontak mengerjap saat melihat anak kecil laki-laki yang langsung berlari memeluknya. Gadis itu tersenyum saat melihat Baim yang selalu antusias saat menyambutnya pulang.
Dengan senyuman yang masih mengembang di bibirnya, Baim lantas bertanya, "Teh Nadia, kenapa pulangnya nggak bilang-bilang?"
Nadia terdiam sejenak. "Biar surprise!" serunya sembari mencubit gemas pipi Baim. "Tapi Baim mah lebih jago bikin Teteh kaget."
Baim lantas ikut tersenyum geli sembari menarik tangan Nadia masuk ke rumah. Nadia masih diam saat telah sampai di ruang tengah. Keadaan rumahnya yang sangat sepi membuat dahinya berkerut hebat. "Baim, di rumah nggak ada orang?"
"Ada Aa' Fandi di kamarnya."
Nadia masih diam, seolah menunggu Baim melanjutkan ucapannya. "Ayah mah biasanya pulang sore. Aa' Raka juga belum pulang sekolah."
"Kalau Ibu?" tanya Nadia hati-hati.
"Ibu pergi keluar sama teman-temannya."
Nadia menghentikan langkah kakinya dan memutar tubuh ke arah Baim. "Setiap hari Ibu pergi?"
Baim menggelengkan kepalanya. "Sekitar dua hari sekali, Teh."
Nadia terdiam sejenak, tetapi tidak lama kemudian suara Baim kembali mengejutkannya. "Teh Nadia istirahat dulu, ya? Baim mau main sama Camiko dulu."
Nadia menautkan kedua alisnya bingung. "Camiko?"
"Kucing baru Baim. Kata Ayah, biar Baim ada temennya kalau di rumah lagi nggak ada orang," ucap Baim seraya menampilkan senyum lebarnya, tetapi entah mengapa Nadia justru tersenyum miris saat mendengarnya.
Nadia masih termangu di tempatnya sembari menatap punggung Baim yang berlalu pergi. Senyuman miris masih terlukis di wajahnya. Baim nggak akan main dan ngobrol sama kucing, kalau aku nemenin dia di sini dan nggak perlu kuliah.
Suara pintu taksi yang ditutup di luar sana membuat Nadia memutar tubuhnya ke halaman rumah. Ia lantas melepas ranselnya sebelum beralih menghampiri ibunya.
"Nadia?" tanya Ibu Nadia sekilas dengan mata yang memicing ke arah Nadia.
Nadia tersenyum lalu mencium punggung tangan ibunya.
"Ibu masuk dulu." Ibu Nadia berjalan melewati Nadia begitu saja dengan sesekali membenarkan tas tangannya yang merosot.
Belum sempat Nadia menjawab, ibunya memutar tubuh ke arahnya. "Nad, tolong atuh ibunya dibantuin. Piring yang ada di cucian kenapa masih numpuk? Kalau enggak ada orang di rumah, jangan malas-malasan. Kok, betah lihat rumah kotor kayak gini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...