Hingga saat ini aku belum menyadari kapan hari yang dimaksud masa depan itu. Hari yang terus berubah setiap kita telah berhasil berada pada suatu waktu yang dulu kita sebut dengan masa depan.
*****
Nadia baru saja menutup laptopnya, setelah menyelesaikan ujian tengah semester hari ini yang dilakukan secara online. Ia mengembuskan napas kasar saat melihat nilai yang ditampilkan tidak sesuai dengan harapannya.
Menurut Nadia, mata kuliah yang diujikan hari ini adalah yang paling ia pahami dan yakin bisa menjawabnya dengan benar. Namun, dengan melihat nilainya, ia yakin jika mata kuliah lain akan lebih parah dari ini. Yakin aja dapat segitu, gimana kalau ngasal?
Sepuluh hari terakhir menjadi hari yang sibuk bagi gadis yang memiliki nama belakang Faradiba itu. Ia harus bisa meningkatkan atau mempertahankan nilainya di semester ini. Namun, setelah hari demi hari berlalu, Nadia yakin jika harapan itu tidak bisa tercapai.
"Nad, dapat berapa?" tanya Zahra saat mereka berdua sedang berjalan di koridor.
Udara di sekitar Nadia seolah tinggal segenggam. Ia mencoba meraup oksigen di sekitarnya saat pertanyaan tersebut membuat ingatan tentang nilai ujiannya kembali muncul.
Alih-alih menjawab pertanyaan Zahra, Nadia balik bertanya, "Lo berapa?"
Zahra berdecak sebelum menanggapi, "65." Gadis itu memasang wajah santainya seperti biasa--tidak ada beban ataupun garis lurus di bibir seolah merasa gagal dengan ujiannya.
"Gue 70." Nadia akhirnya menjawabnya dengan suara pelan.
Zahra menoleh. "Akhirnya, ya, Nad, lo jadi mahasiswa normal juga." Gadis itu tertawa kepada Nadia. "Selamat, Nad."
Seiring langkah kakinya yang masih konstan bergerak, Nadia menyempatkan untuk menatap Zahra sambil mengerutkan kening. Apa itu lelucon?
"Tenang, Nad, ini cuma nilai satu mata kuliah. Masih bisa diperbaiki waktu UAS." Zahra mendengkus pelan sebelum melanjutkan, "Lagian Bapak Dosen kalau ngasih soal suka mempersulit mahasiswanya. Gue yakin, The Flash kalau ngerjain 85 soal dalam waktu 50 menit juga gelagapan."
Nadia hanya merespons celotehan Zahra dengan senyum tipis. Semenjak kejadian yang hingga saat ini belum ia tahu kebenarannya, membuat Nadia selalu malas menanggapi segala hal yang diucapkan oleh Zahra. Perlahan-lahan topeng yang Nadia gunakan untuk menutupi kekesalannya juga semakin menipis.
"Kasih tips biar pinter dong, Nad. Heran, deh, ibu lo dulu ngidam apa ya pas hamil? Anaknya bisa jenius gini."
Garis lurus di bibir Nadia tidak kunjung terangkat. Gadis itu menatap Zahra dengan wajah datar. Jenius? Bukan lagi pintar?
Melihat respons yang diberikan oleh gadis di sampingnya, membuat Zahra buru-buru membuka suara. "Nad, gue bercanda ..., lo kenapa, sih? PMS?"
Ingin rasanya Nadia meluapkan apa yang akhir-akhir ini membuat dadanya sesak, tetapi ia urung. Rasa bergejolak dari dalam perutnya tiba-tiba menimbulkan efek pahit yang menjalar hingga tenggorokannya.
Gadis itu berbalik seraya menangkupkan tangannya ke mulut. Ia bergegas menuju toilet yang beruntungnya baru terlewat beberapa langkah dari tempatnya berada. Nadia berlari ke salah satu bilik dan sebelum bisa menahannya, seluruh sarapan--yang hanya setangkup roti tanpa selai--sudah tergenang di toilet.
Cukup lama Nadia mencoba memulihkan kembali keadaan tubuhnya, hingga seseorang mulai menahan beberapa helai rambutnya supaya tidak terkena muntahan. Walaupun Nadia sudah mengikat rambutnya ke belakang, perasaan cemas membuat gadis itu tidak sadar jika ikatan rambutnya sudah berantakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...