Yang berhak memberi label kepada kita adalah diri kita sendiri.
*****
Nadia terdiam cukup lama sembari menatap wanita di depannya. Dress-nya telah terbalut oleh jas putih yang memeluk tubuh jenjangnya dengan apik. Rambut panjang yang kini telah berubah menjadi lurus sebahu membuat wanita itu terlihat lebih mengagumkan.
Namun, perubahan itu tidak membuat Nadia melupakan jika ini bukan kali pertama mereka bertemu. Tatkala bola matanya bertemu dengan bola mata cokelat terang milik wanita tersebut, ia refleks menganggukkan kepala sembari tersenyum.
"Baik, Dok," jawab Nadia singkat seiring tubuh yang mulai ia hempaskan ke kursi.
"Saya rasa bukan itu jawabannya." Wanita itu tersenyum. "Kalau kamu baik-baik saja, tidak mungkin ada di sini."
Nadia tersenyum getir. "Saya butuh diagnosis, Dok."
Alih-alih melanjutkan pertanyaannya, wanita berbalut jas putih itu beringsut menuju sudut ruangan dan menyeduh air hangat ke cangkir. Beberapa saat kemudian, Nadia mendapati wanita tersebut telah tiba kembali di depannya.
"Kenapa chamomile?" Nadia akui, pertanyaan itu tidak penting. Membahas chamomile di ruang konseling terlihat sangat konyol di matanya.
Wanita itu mengurai senyum hangat. "Apa kamu mengira, saya akan memberi hot chocolate seperti di kereta?"
Nadia mengangkat pundaknya sekilas. Tangan kanan yang awalnya diam di bawah meja lantas terangkat untuk meraih cangkir putih di depannya.
dr. Riana Ayu S., Sp.KJ.
Gadis itu meletakkan kembali cangkirnya tepat setelah ia membaca papan nama meja yang ada di hadapannya.
"Nadia, coba ceritakan masalahmu." Dokter Riana mulai membuka suara dengan lembut. Kedua tangannya bertumpu pada meja seolah meyakinkan Nadia jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Nadia menggeleng lesu. "Saya tidak tahu harus cerita dari mana." Gadis itu mendongak. "Apa sebaiknya sebelum bertemu dengan Dokter, saya harus menulis outline apa saja yang ingin disampaikan?"
Dokter Riana menggeleng. "Bagaimana kalau kita awali tentang apa yang kamu rasakan sekarang?"
"Saya merasa seperti penipu yang terlalu sering berbohong."
"Penipu yang seperti apa itu, Nad?"
"Saya sudah banyak berbohong kepada ibu, ayah, keluarga yang lain, dosen, hingga teman-teman." Nadia menggeleng. "Lebih tepatnya semua orang yang saya temui menganggap saya itu pintar. Saya diterima di kampus terbaik melalui jalur SBMPTN, saya mendapatkan IPK yang nyaris sempurna di semester satu. Namun, hanya sebatas itu saya beruntung."
"Kenapa kamu menyebut dirimu seseorang yang beruntung? Apa karena kamu mengenal orang-orang di kampus sehingga bisa dengan mudahnya kamu manipulasi?"
Nadia menggeleng. "Tidak. Bukan begitu." Ia menghela napas berat. "Mungkin lebih tepatnya bukan karena saya mengenal dosen-dosen kampus dengan baik. Tapi, karena mereka sudah menganggap saya pintar di ujian pertama sehingga mereka memberi nilai baik untuk ujian selanjutnya?"
Dokter Riana tersenyum untuk kesekian kalinya. "Kamu terlihat tidak yakin dengan jawabanmu, Nad. Kamu bahkan kembali bertanya kepada saya."
Nadia menelan ludahnya dengan kasar.
Ada hening sesaat. Dokter Riana terlihat menganggukkan kepala sambil menatap lembar asesmen milik Nadia yang sesekali ia beri tanda.
"Nadia, coba kita korelasikan bersama apa saja yang kamu katakan." Maniknya menatap Nadia dengan lembut. "Jadi, kamu merasa telah menipu banyak orang karena pencapaianmu?" tanya Dokter Riana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impostor (COMPLETED)
Teen FictionCampus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona Faradiba untuk dirinya sendiri. Menjadi anak pertama di keluarga yang berkuliah, membuat Nadia menja...