32 - Tangan Terbuka

8.5K 1.2K 134
                                    

Yang paling berharga adalah ketika memilih bertahan sekalipun ada celah kesempatan untuk menyerah.

*****

Nadia tidak menyangka hidupnya akan jauh berubah daripada sebelumnya. Kini, ia mempercayai jika hidup seperti roda berputar itu memang benar adanya. Hingga detik ini, gadis itu menyadari jika menjaga kesehatan mentalnya adalah hal yang terpenting dalam hidupnya. Sebisa mungkin dirinya tidak lagi tertekan dengan ekspektasi orang lain dan masalah-masalah yang harus ia hadapi setiap harinya.

Semua yang telah terjadi sebelumnya, membuat Nadia berpikir jika ia harus mempersilakan dirinya untuk menangis jika merasa sedih dan tidak mampu lagi menahan luka. Kata maaf untuk dirinya sendiri atas apa yang terjadi di masa lalu, cukup membuat Nadia juga mampu memaafkan semua orang yang pernah membuatnya sedih, terluka, dan kecewa.

Nadia merasa selama beberapa bulan ini hidupnya baik-baik saja. Setelah kembali ke kos hingga pulang saat liburan akhir semester ini, gadis itu melaluinya dengan sangat baik. Nadia sama sekali tidak mengeluarkan air matanya sedikit pun.

Ini semua terjadi, karena ibunya tidak lagi membuat hatinya merasa sakit karena lontaran kalimat yang wanita itu berikan. Wanita itu terlihat sangat menyesali perbuatannya di masa lalu dan lebih berhati-hati dalam berucap kepada Nadia. Semua hal tersebut, membuat Nadia dengan terbuka menawarkan diri untuk menemani ibunya pergi ke pasar di Minggu pagi.

"Kayaknya Nadia tahu Ibu mau masak apa habis ini." Nadia tiba-tiba memecah keheningan saat mereka mulai berjalan memasuki area perumahannya.

Sani melirik ke tas belanjaannya dan mengulas senyum. "Biar anak Ibu betah lama-lama di rumah."

Ucapan ibunya kembali membuat Nadia tersenyum. Rasanya, ia sudah lama tidak bicara sesantai ini dengan wanita yang berjalan di sampingnya.

"Dari mana, Teh?" tanya seorang wanita--tetangga Nadia--yang tengah menyiram tanaman hias di teras rumahnya.

Pertanyaan tersebut, membuat Nadia dan ibunya refleks menghentikan langkah.

"Dari pasar, Teh, habis belanja," jawab Ibu Nadia.

Wanita yang diajak berbicara itu terlihat meletakkan semprotan airnya dan mulai mengangkat alis saat matanya menangkap keberadaan Nadia. "Eh, itu Nadia, ya? Lagi liburan, Nad?"

Nadia mengangguk. "Iya, Bi."

"Kamu nggak berubah-berubah ya sejak dulu sampai sekarang. Dulu waktu SMA, setiap pulang sekolah, pasti langsung diam di rumah sampai tetangga-tetangga di sini banyak yang nggak kenal kamu. Apalagi sekarang udah merantau ke luar kota ... makin lupa kalau Teh Sani itu punya anak gadis."

Nadia hanya tersenyum singkat untuk menanggapi, sementara Sani yang sejak tadi memperhatikan raut wajah anaknya lantas meraih tangan Nadia di bawah sana dengan tangannya yang bebas.

"Buat apa, Teh, dikenal banyak orang? Jadi sorotan bukannya nggak enak, ya?" Wanita itu bertanya dengan nada jemawa. "Saya justru senang punya anak kayak Nadia yang jadi anak rumahan. Anak gadis itu nggak seharusnya keluyuran keluar rumah."

Nadia hanya mampu tersenyum dalam diam mendengarnya, bertepatan dengan genggaman tangan ibunya yang semakin erat. Sementara, wanita di depannya itu lantas mengangkat kedua alis seiring napasnya yang memburu menahan kesal.

"Saya permisi dulu, Teh," ucap Sani untuk terakhir kalinya, sebelum ia dan Nadia kembali mengayunkan langkah pulang ke rumah.

"Ibu jangan gitu deh sama tetangga. Jangan nambah-nambahin musuh," ucap Nadia diplomatis saat mereka telah memasuki rumah.

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang