14 - Bumi Pasundan

7.4K 1.2K 157
                                    

Tempat itu menarikku pulang untuk menata hati dan mengikhlaskan apa yang tidak menjadi jalanku.

*****

"Teh, nggak capek?"

Nadia mendongak ke sumber suara, melihat adik pertamanya yang kini juga menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

Gadis itu terkekeh sebentar. "Capek kenapa?"

Raka mengembuskan napasnya sekilas sebelum ia membalas ucapan Nadia. "Ya capek belajar ... tadi pagi aja, Teteh udah bersih-bersih rumah dari subuh. Terus cuma jeda sarapan sama mandi, habis itu lanjut belajar lagi."

Nadia tersenyum dan mengangkat bahunya. "Kenapa harus capek? Sulit cari waktu belajarnya, jadi harus curi-curi waktu kayak gini," jawab Nadia sambil memberi warna buku catatannya dengan stabilo kuning.

"Sama," sahut Raka singkat.

Nadia kembali melirik Raka dengan alis yang kini sudah tertaut.

Melihat respons kakak perempuannya yang tengah kebingungan, Raka kembali melanjutkan, "Capek cari waktu buat main sama temen-temen."

"Kenapa?" tanya Nadia yang masih bingung dengan ucapan Raka.

"Habisnya Raka nggak dibolehin keluar sama Ibu. Sedangkan Ibu tiap hari keluar rumah nggak ada yang nyalahin."

"Hust, nggak boleh gitu." Nadia kembali mengarahkan atensinya pada buku catatannya. "Bukannya hari ini kamu mau pergi sama temen-temen kamu?"

Raka terhenyak dan langsung menatap Nadia dengan gelisah. "K-kok, Teteh tau?"

Nadia terkekeh. "Jadi ngajak ngobrol gara-gara ini? Ngomong aja atuh ... Teteh bakalan diem aja, kok, nggak ngadu ke Ibu."

Raka masih termenung di tempatnya hingga membuat Nadia kembali membuka suara. "Kapan berangkatnya?"

"Habis ini."

"Ya udah, siap-siap sana."

Tanpa menunggu aba-aba kembali, Raka mencetak senyum bahagia di wajahnya dan segera bangkit dari duduknya. "Makasih, ya, Teteh."

Sepeninggal Raka, Nadia masih mencoba memfokuskan diri pada buku-buku catatannya. "Ayo, Nad, fokus ...."

Nadia menggelengkan kepalanya setelah ia bermonolog. Pulang ke rumah membuat fokusnya hilang begitu saja, terpecah dan menguar bersama masalah-masalah yang melingkupi keluarganya ini. Ia hanya bisa belajar saat malam hari supaya tidak mendengar omelan ibunya.

Nadia mengarahkan pandangannya pada jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Napasnya terembus menerpa wajahnya dengan lembut. Namun, sebuah suara yang sangat ia kenal kembali mengejutkannya.

"Eh, anak Ayah belajar apa, nih?" Pria yang mengenakan kaus putih itu baru saja masuk ke rumah dan langsung menghampiri Nadia yang duduk di ruang tengah.

Nadia tersenyum. "Ayah capek ya ngelihat Nadia pegang buku terus?"

Ayah Nadia tertawa renyah. "Kenapa capek? Ngelihatin semangatnya anak Ayah yang luar biasa kayak gini bikin Ayah seneng."

Nadia mengulum senyumnya. "Oh iya, Yah, semester ini ada matkul yang salah satu topiknya itu bahas akreditasi rumah sakit." Nadia mengembuskan napasnya kasar. "Ternyata rumit banget, ya, Yah. Pantes aja waktu itu Ayah kelihatan pusing banget sampe pulang habis isya. Nadia aja yang cuma belajar udah pusing."

Ayah Nadia terkekeh dan mengulurkan tangannya untuk mengelus rambut Nadia. "Akreditasi rumah sakit, kan, cuma tiga tahun sekali. Nggak bakalan, lah, Ayah pusing setiap hari."

Impostor (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang