Aku tidak mengerti
Mengapa aku terus dan menerus
Mengharapkanmu
_____
Radit menggebrak meja cafè kelewat kencang---tipikal Radit pada umumnya---kemudian berseru, "Jadi dia yang jalan sama Kenzie waktu itu? Bener kan?!" tanyanya antusias.
Jevin berdecak seraya memutarkan kedua bola matanya. Rokok ketiganya yang sudah habis termakan bara ia buang ke dalam asbak. Selepas menyedot Coca-Cola Jevin bertanya, "Menurut lo dia bukan?"
Hujan masih turun dengan deras dan hingga kini, belum ada tanda-tanda akan mereda ataupun berhenti. Aku menyesap coklat panas yang baru saja tiba ketika Radit masih asik menarik simpulan dan mengompor-kompori Jevin dengan cerita---karangannya---tentang Kenzie. Senyum kecil kusunggingkan melihat wajah Jevin yang tertekuk sebal ketika mulai terpancing emosi.
"Saudaraku," panggil Alam kemudian---sedikit cerita tentang panggilan itu, tiga bulan lalu atau lebih tepatnya ketika liburan akhir tahun, Alam berpamitan pergi ke gunung. Kami tidak heran ataupun menanyakan banyak hal padanya, termasuk tujuannya pergi ke gunung, karena yang kami tahu, Alam ikut organisasi pecinta alam yang mana, sudah sering naik turun gunung. Namun, kami benar-benar tidak tahu apa yang sebenernya terjadi hingga ketika kembali, Alam menjadi triple kuadrat freak. Kami semua masih mencoba mengembalikan tingkat ke-freak-an Alam ke tingkat normal. "Kenapa kita ngga nyoba tanyakan saja ke Aira daripada berdebat?"
Kami berempat sempat memandang ngeri ke arah Alam. Bener-bener ngga beres nih bocah, batinku. Entah dia belajar ilmu apa di gunung antah berantah.
Radit menyodorkan bungkus rokok ke Alam. "Nyebat dulu lam. Lu mau kopi ngga? Mau apa? Americano? Espreso? Atau mau keluarga latte?"
Alam meraih dan mulai menyalakan rokok yang telah ia selipkan di antara bibirnya. "Ini masih banyak. Gue kenyang."
Kami tambah shock. Tentu saja, Alam yang bisa merasa kenyang adalah pertanda bahwa mahluk yang satu itu tidak sedang baik-baik saja. Aku curiga ia sudah kerasukan hantu gunung selepas pulang. Aku membuat catatan mental untuk menyarankan kepada keluarganya melakukan ruqyah pada Alam.
"Kentang gimana? Gue pesenin," tawar Gio.
"Boleh, boleh." Radit pergi memesan beberapa menu tambahan. Setelah ia kembali, Alam kembali berbicara. "Terus, Ra? Lanjutin dong."
Aku menyesap coklat panasku lagi. Kembali mengingat yang terjadi setelah informasi dadakan Radit hari itu. Kulirik Jevin yang kini tengah berbalas pesan dengan seseorang sambil senyum-senyum tidak jelas. "Terus ...."
oOo
Esok harinya, pukul enam di pagi Minggu yang mendung, Jevin muncul di muka pintu rumahku. Air mukanya perpaduan panik dan juga kesal, serta kantung mata yang hitam, cukup menginformasikan bahwa ia tidak tidur tadi malam---entah sebab memikirkan lelaki yang baru saja jalan dengan belahan hatinya atau habis menonton pertandingan Liverpool semalam. Dari pakaian Jevin, kelihatan ia habis olahraga pagi, tapi aku tidak melihat tanda-tanda nafas terengah ataupun keringat yang membasahi pelipis. "Ya, kan gue ke rumah lo pakai Gojek bukan lari-larian," jawabnya dengan sewot.
Aku yang masih setengah sadar segera menghempaskan tubuhku ke atas sofa. Mataku masih sedikit sembab bekas sisa nangis semalam. Kelihatan amat jelek di cermin. Pantes kan? Mana mau Cio sama cewe jelek kaya lo, pikiran jahatku mulai bersuara. Aku berdecak kencang. "Bacot lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Teen Fictionforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020