= meski dimulai dari 0, kayanya jauh lebih baik =

26 1 0
                                    

Gelato yang mencair

Langit jingga

Dan suara lembutmu

Hari itu aku amat sangat bahagia

Hingga lupa rasa sakit yang tengah menunggu di akhir kisah

_____

"Halo? Aira?"

Aku masih diam ketika suara penelpon di sebrang sana memasuki gendang telingaku. Setelah menimbang lama dan terus mencoba mengabaikan panggilan itu, pada akhirnya hatiku luluh dan mengangkatnya. Gina memilih keluar kamar dan memberikanku ruang untuk berbicara dengan Cio. Kini, kudengar Cio berdehem pelan.

"Aira---" panggilnya, ia hendak berbicara sebelum akhirnya aku memotong.

"---Cio gue minta maaf." Kujauhkan ponselku sebentar untuk menarik nafas panjang, menghilangkan sisa sesenggukan. Namun, sebelum aku sempat melanjutkan, Cio lebih dulu berbicara.

"Yang seharusnya minta maaf gue, Ra," ujarnya pelan. "Gue minta maaf ya, Ra, karena ngga sempet ngebales pesan lu dengan cepet. Dua minggu belakangan ini gue ada Ujian Tengah Semester, mungkin sama kaya lu dan Kenzie. Dari SMP, gue nerapin free handphone selama ada ujian biar terlepas dari segala distraksi dan bisa fokus. Gue minta maaf banget kalau lu sampai merasa sedih atau merasa gue ngga mau temenan sama lu. Itu sama sekali ngga bener, i'm so glad to know and being your friend, Aira. I'm sorry if i hurt you, that's all my mistakes."

"Ngga, Cio, jangan---" Aku kembali terisak karena malu sudah mengatakan dan berpikiran yang buruk pada Cio. Padahal, ia punya alasan logis dibalik ketidakmampuannya membalas pesanku dengan cepat. "Cio, tolong maafin gue. Maaf gue freak banget udah ngomong kaya gitu ke lo. Gue ngga bermaksud. Gue minta maaf banget Cio, gue minta maaf."

"Are you crying?" Bunyi grasak-grusuk terdengar dari sebrang telepon. "I'm so sorry if i hurt you."

"No. Ngga, Cio, gue ngerasa bersalah ke lo," kataku jujur.

"It's okay. Maybe you had a bad day. Don't hard with yourself, Aira. Lo ngga salah kok dan gue ngga merasa dirugikan juga, udah ya jangan nangis?"

Tangisku malah makin kejer. Aku semakin malu terhadap Cio. Kugigit bibir bawahku, berharap dapat menghentikan tangis.

"It's okay if you had a bad day today. It's okay to cry," Cio kembali berujar lembut. Tangis yang kutahan mati-matian kembali membasahi pipi. "Tommorow will be your good day."

Cio memberikan jeda untuk aku menangis selama hampir dua menit, beberapa kali dia menenangkanku dengan dukungan atau kata-kata baiknya. Sembari menunggu tangisku reda, Cio menceritakan tentang hari-hari buruk yang kadang hadir. Bagaimana ia bisa menyelesaikannya dan berdamai dengan keadaan. Cerita-cerita Cio terus mengalir sampai jam merangkak ke angka satu dini hari, jejak-jejak air mataku bahkan sudah mengering.

"Makasih banyak Cio," kataku setelah Cio selesai menceritakan pengalamannya entah yang ke berapa---bukan hanya cerita sedih, Cio juga menceritakan keseharian dan teman-temannya. "I feel better."

"Good. Jangan sedih-sedih, masih ada hari esok, Ra."

Aku tersenyum seraya mengangguk-angguk. "Iya," kataku.

"By the way, hari minggu lo punya acara ngga, Ra?"

"Hmm? Kenapa memang?"

"Sebagai penebusan rasa bersalah, gimana kalo kita hangout lagi?"

membulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang