Maaf
Haruskah aku meminta maaf sebab sudah menaruh harap padamu?
_____
Keesokan harinya, masih diliputi oleh perasaan senang nan berbunga aku menyanggupi ajakan empat kawanku untuk bermain. Hari ini aku diajak main ke rumah Jevin, karena Babeh Jali---a.k.a ayahnya Jevin---lagi ulang tahun ke empatpuluh lima tahun. Lagi-lagi Gina membantuku berdandan dan memilihkan outfit untuk aku kenakan: dress putih tulang dengan pattern bunga daisy yang dipadukan dengan cardigan rajut krem. Kali ini aku pakai sepatu Converse putih.
"Dek," panggilku pada Gina yang tengah merapihkan alat make up-nya. "Kayanya berlebihan, deh."
Dari balik cermin aku bisa menangkap pelototan Gina yang mengarah padaku. "Gue gebuk lu."
"Nanti kalau Jevin atau Radit atau Alam ngatain gue gimana?" Aku membalik tubuh menghadap Gina. Adik perempuan kesayanganku itu baru saja hendak bicara ketika tiba-tiba saja diintrupsi oleh suara klakson motor.
Gina meraih tanganku. "Gue gampar mereka kalo berani kaya gitu," katanya lantas menarikku ke luar rumah.
Di luar, Radit dan Alam datang mengendarai motornya masing-masing. Mereka tengah bercanda---saling mengejek yang berujung tendang-tendangan sampai Alam hampir jatuh ke selokan depan rumahku---seperti biasa. Setelah puas menendang dan menertawakan temannya, Radit menoleh ke arahku. Kedua manik hitam kecoklatannya seakan terpaku pada riasan wajahku. Medok banget apa ya riasan gue? Pasti Radit lagi mikirin kata-kata apa yang pas buat ngata-ngatain gue, pikirku. Aku menarik tangan Gina hingga si empunya menoleh. Paham dengan sorot mataku, Gina menggeleng pelan.
"Heh!" Gina menendang kecil badan motor Radit. Si empunya motor yang tengah bengong kehilangan keseimbangan hingga hampir jatuh ke samping. Tawa menggelegar Alam langsung mengikuti.
"Mampus! Karma instan." Alam menggeleng-geleng sambil tertawa, sedangkan Radit sudah melemparinya pelototan tajam. "Makannya, Dit, ente jangan macem-macem sama ane. Kalo kata guru ngaji gue semalem, gini: jika kamu berbuat baik berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri," ujar Alam.
Radit, selaku manusia jelmaan dakjal malah makin melotot ke arah Alam. Tangan entengnya segera menoyor kepala Alam sambil berucap, "Bacot. Baru abis mandi besar juga lu."
"Astagfirullah, Dit." Alam mengusap-usap dadanya. "Kepala gue udah difitrahin, Dit. Dan tolong dengarkan ini baik-baik---"
"Ssttt." Gina mengintrupsi. "Udah sesama syaiton ngga usah merasa bener."
"Gina!" Radit dan Alam memanggil bersamaan.
Semua suara perdebatan terintrupsi kala ponselku berdering. Motherfucker calling. Aku segera mengangkat panggilan seraya memencet opsi loudspeaker. "Masih lama dandan—"
"Bacot. Dua temen laki lu berantem di depan rumah gue. Omelin mereka!" Gina menyambar teleponku. Adikku itu berkacang pinggang sambil melemparkan tatapan tajam pada Alam dan Radit yang terlihat-ingin-sekali-mencekik. "Tolong ya Jevin, gue udah dandanin kakak gue susah payah. Jadi bilang ke temen-temen lu untuk ngga ngolok-ngolok, terutama lu! Pokoknya kalo kakak gue pulang nangis gue labrak kalian!"
Jevin tertawa dari ujung telepon sana. Aku pun sering terheran-heran sebab perlakuan Jevin kepada Gina dan aku berbeda---anak setan itu lebih sering bersikap judes kepadaku ketimbang Gina, entah dendam apa yang ia simpan padaku. Mungkin, karena aku deket sama Kenzie kali ya? Hmm, masuk akal!
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Teen Fictionforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020