Terkadang aku menyesali betapa semangatnya aku
Merencanakan liburan tak masuk akal
Liburan yang seharusnya terus aku kenang
_____belajarnya sama temen-temen yang itu kan, Ra? (2.47 PM)
yesss, empat mahluk freak (2.47 PM)
okayy
yang bener yaa belajarnyaa, supaya ngga remedial (2.47 PM)
wkwkwkw remedial udah jadi temen uas ngga sih
tapi, semoga ngga remedial (2.47 PM)
lanjutin deh belajarnya ra
nanti texting lagi
semangat airaa! (2.48 PM)
"Lo balikan kan sama si Dimas?" Alam berseru seraya menunjuk-nunjuk diriku. Remah-remah biskuit di mulutnya sampai berceceran di karpet Gio.
"Dibilang nggak, nggak. Nggak ngerti banget sih?" Suaraku naik satu oktaf.
"Terus kenapa senyam-senyum gitu?"
"Emang senyum-senyum cuma karena nge-chat gebetan?" Aku membuka buku catatan matematika dengan sebal. "Orang habis chat-an ama Gina, dia ngelawak," dalihku.
Biskuit di lempar ke arahku. "Lo nggak bisa bohongin gue." Alam menunjuk sambil melotot dramatis.
Aku menghela nafas keras. "Terserah," kataku, yang kemudian menyelesaikan percakapan tersebut.
Minggu terakhir di bulan November kami merencanakan kegiatan yang mengejutkan---belajar bersama di rumah Gio. Bersama-sama saling mengajari pelajaran yang belum dikuasai---pembagian itu berupa, Radit yang mengajari matematika; Jevin dan tipsnya dalam mengingat istilah-istilah biologi, Gio yang amat jago menganalisis dan memecahkan soal fisika---dan mengerjakan beberapa macam soal. Sedangkan, aku hanya menjadi murid yang banyak bertanya.
Berbeda dengan kami berempat, Alam tampaknya datang dengan tujuan berbeda. Sejak menginjakan kaki di kamar Gio, si anak miskin itu lebih memilih merebahkan dirinya dan hampir menghabiskan cemilan. Alam bahkan tertidur pulas ketika kami tengah mencoba menyelesaikan satu soal fisika dan bangun kembali ketika Mbak Fitri---asisten rumah tangga Gio---datang membawa camilan baru.
Tingkah semacam itu bukan sesuatu yang baru untuk kami. Jadi, kami tidak memilih untuk mengambil pusing---walau lama kelamaan sangat menyebalkan.
"Kalo lo balikan sama si Dimas, gue gebuk lo," peringatnya. Alam masih melayangkan tatapannya padaku sambil menggigit crakers berlapis coklat.
"Gue gebuk balik lo, Lam." Secara mengejutkan Radit membelaku, tangannya sibuk memasukan pensil ke dalam serutan giling.
Aku melempar senyum, menyodorkan love sign pada Radit. "Love yo---"
"---Nggak jadi. Kayanya lebih enak gebuk dia."
Penghapus kulayangkan ke arah mata Radit. Namun sialnya, lemparan itu malah meleset ke muka Jevin yang sedang berkonsentrasi menyelesaikan soal matematika. Dengan cepat aku menutup wajahku dengan tangan untuk berlindung dan menangkis penghapus yang kembali ke arahku dengan cepat.
"Bacot banget dari tadi gue liat-liat," peringat Jevin membungkam perseteruan yang hendak terjadi kembali.
Setengah menit berselang, Alam menyodorkan biskuit Better pada Jevin. "Nih, biar perasaan lo better." Perlakuan itu hanya mendapatkan pelototan dari Jevin. "Pasti lo pusing kan Vin ngerjain semua itu? Lo butuh asupan gula kalo lagi pusing."
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Novela Juvenilforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020