Ah, benar
Bila kita berjalan baik-baik saja
Tembok itulah yang barangkali akan menjadi penghalang kita
=====
"Ini untuk Aira." Gio memberikanku sebuah kotak terbungkus kertas kado berwarna merah.
"Thank you! Selamat natal Gio!" Aku membalasnya dengan dua bungkus baso aci yang Gio idam-idamkan belakangan ini. Ekspresi Gio kelihatan amat antusias ketika melihat makanan tersebut. "Nanti gue kasih vidio tutorial memasaknya."
"Kaya buat mie instan bukan?" Gio bertanya.
"Tinggal di masak semua. Semuanya dicampur jadi satu, tetapi yang bumbu asinnya itu jangan dimasukin semua," jelasku. Gio hendak bertanya lebih lanjut, sebelum pertanyaannya itu diintrupsi oleh sosok yang menempati posisi kedua teratas sebagai manusia tidak tahu diri.
"Udah baso acinya nanti, kado gue mana?" Radit menengadahkan kedua tangan, senyum tertarik begitu lebar di wajahnya. Gio segera memberikan kotak kado yang mirip milikku kepada Radit. Remaja anarkis itu dengan heboh menerimanya. "Happy Cristmass."
"---merry," koreksiku.
"Orang gue maunya happy."
Seperti tahun sebelumnya, tahun ini pun Gio mengundang kami untuk datang dan merayakan natal bersama---kata Jevin, mereka sudah melakukan ini sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sedangkan kami berlima baru merayakan bersama sejak setahun lalu. Biasanya setelah tukar menukar kado, kami akan makan dan berbincang bersama. Kemudian setelahnya, Gio biasa meminta bantuan kami berempat untuk membantunya menghias pohon natal---Alam yang paling semangat kalau mendekor pohon natal, bahkan tahun lalu dia hampir mengerjakan semuanya sendiri saking antusiasnya. Aku terpikir untuk membuatnya iri dengan berfoto bersama pohon natal itu.
"Kado itu buat Alam?" Ketiga temanku menoleh ke satu arah yang sama; sebuah kotak yang berukuran dua kali dari kotak milikku. Gio mengangguk.
"Gede banget," Radit membeo.
Dengan senyum Gio berkata, "Kasihan dia. Kayanya hidupnya susah."
"Isinya sembako?" Jevin bertanya asal.
Gio lantas menoleh ke arah Jevin, alisnya bertaut, sedang ekspresinya kelihatan tengah berpikir. "Oiya ya, betul juga, seharusnya gue ngasih sembako juga untuk keluarganya. Mungkin next time, Jev."
Ah, Gio anak baik---terlalu baik malah. Kami bertiga tersenyum maklum.
"Jangan kebaikan sama si Alam." Radit berujar sambil menyomot kue kering di depan kami. "Orang ngga tau diri gitu."
"Lo juga sama. Sebelas dua belas."
"Aira diem ya!"
"Oiya," Gio berseru kemudian. Pemuda itu lantas mengambil kado yang kali ini dibungkus dengan kertas berwarna hijau tua, lantas menyodorkannya pada Jevin. "As you wish."
Jevin melempar senyum senang, kemudian berucap, "Thank you!" Sebelum melanjutkan, "Kadonya ada di rumah, lo nanti malam ada acara nggak?"
"Ada acara makan malam sih, tapi cuma---," Ekspresinya langsung berubah antusias begitu ia menangkap maksud Jevin. "Ah, nanti gue langsung ke rumah. Gue nginep ya, Vin?"
Jevin mengangguk menyetujui.
"Okey! Sip!"
"Gio jadi beli rumah gingerbread itu?" Aku mengalihkan topik. Gio dengan semangat beranjak dari tempat duduknya, berlalu sebentar lantas kembali dengan kardus berukuran besar serta totebag biru tua gendut yang ia sampirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Fiksi Remajaforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020