= kenapa sih orang-orang suka malu dengan masalahnya? =

20 2 0
                                    

Aku memang sakit hati

Tapi, hubungan dengan orang lain lah yang sering menyembuhkan

Akan kucoba untuk tidak menjadi egois

_____

"Lo tau dari mana?"

Sejauh yang kutahu---aku dan Kenzie sudah berteman dekat sejak setahun lalu---tidak pernah ada berita ataupun hal semacam itu yang keluar dari mulut Kenzie. Gadis itu tak pernah sekalipun bercerita mengenai keluarganya, walau jika ingat-ingat kembali memang ia jarang berhubungan dengan ayahnya dan belum pernah memperkenalkan aku dengan ayahnya, tapi kupikir itu hanya sebab ayahnya orang sibuk seperti ayah Gio atau ayah beberapa temanku lainnya.

Jevin memasukan seraup kacang---aku baru sadar bahwa kacang itu sejak tadi berada di atas meja---ke dalam mulut, lantas berujar sambil mengangkat bahunya, "I'll be her boyfriend, dude!"

"Lo bohong ya?" tuduhku.

"Ngapain bohong?" Jevin menegakkan tubuh, berjalan menuju dapur. Tak berselang lama ia kembali dengan dua buah gelas dan seteko air putih dingin. Jevin menuangkan air ke dalam gelas sembari bercerita, "Waktu itu gue ngga sengaja sekelompok sama anak IPS-3. Waktu lomba Bulan Bahasa tahun lalu. Dia cewe. Pas gue ngasih tau kelas gue, dia langsung nanya tentang Kenzie, terus dia cerita."

Aku memperhatikan Jevin yang mengoyang-goyangkan air di dalam gelasnya. "Katanya, dulu Kenzie itu anak yang baik dan cukup ceria. Dia udah pinter dari kecil, kaya semua ibu-ibu pengen gitu punya anak kaya Kenzie. Terus, semua itu berubah semenjak ayahnya selingkuh sama perempuan lain. Kenzie jadi anak pemurung karena sering dimarahin mamanya. Katanya, setiap yang Kenzie lakuin salah terus, dia bahkan dipaksa untuk masuk berbagai macam klub bela diri meski sebenernya dia ngga mau. Bisa dibilang mamanya itu keras ngedidik Kenzie. Mungkin itu bentuk dari rasa sakit hati beliau, barangkali mamanya ngga mau Kenzie disakitin kaya dirinya, tapi caranya salah."

Jevin meminum air putih di tangannya. Aku belum merespon apapun, karena aku semakin merasa bersalah atas kesulitan yang sudah Kenzie lewati selama ini. Bagaimana bisa aku tidak peka sekali, bahkan selalu percaya saja pada kata 'baik-baik saja' dan senyum di wajah Kenzie selama ini. Padahal, selama ini Kenzie melewati masa-masa sulit tanpa ada teman yang tahu hal itu.

"It's not your fault, Ra. Memang Kenzie perempuan hebat yang dipilih untuk menjadi kuat." Jevin menyakinkan, ia lantas melanjutkan, "Gue juga sama, ngga bisa berbuat apa-apa, bahkan pas udah tahu hal itu. I mean, gue bahkan ngga bisa main sama dia, tapi kan lo bisa. Lo bisa main dan buat dia ngga ngerasa sendiri."

Jevin benar, aku masih bisa memperbaiki semuanya. Aku bisa lebih peka terhadap Kenzie, serta membuatnya tidak lagi merasa sendiri di hari-hari buruknya.

Tak berselang lama sejak Jevin bercerita, abang Go-Food beserta pesananku sudah tiba di depan rumah Jevin. Aku lantas beranjak dari sofa dan segera menuju ke pekarangan rumah. Jevin yang membuntutiku menaikan alis, sambil menyilangkan tangannya. "Lo beneran cuma mau curhat ke rumah gue?"

"Ngga juga sih, hehe." Aku menyodorkan bungkus plastik padanya sambil berucap, "Makasih ya Jevin, mungkin boba dan burger ini ngga bisa membayar saran-saran lo, tapi gue janji dengan segenap usaha gue akan selalu ada dan menghibur your beloved love."

Jevin meraih sogokanku dengan cepat. "Ya, itu kewajiban lo ya, jangan sampe lupa sama itu."

"Gue pulang ya Jev!"

"Ya."

"Jangan minum coca-cola terus ya, kalo lo mati nanti ngga ada yang bisa gue curhatin lagi."

membulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang