Malam itu aku merasa amat bahagia
Kubagi cerita mimpi-mimpiku
Kupikir semua itu benar adanya, nyatanya hanya kebohongan belaka kan?
______
Seminggu itu, kami mengikuti saran dari Guntur. Perilaku baik dan sabar kami membuahkan hasil, Radit kembali bersekolah dan guru-guru mengurungkan niat mengeluarkan murid-murid yang terlibat tawuran dengan mengganti hukuman menjadi sukarelawan sekolah---jadi selama sebulan, sepulang sekolah, Radit harus membersihkan semua area sekolah dan ikut kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah. Remaja badung itu selalu disindir dan mendapat omelan dari setiap guru yang mengajar hari itu. Namun, Radit tetap Radit, ia tidak pernah menganggap serius omongan orang tua yang menasehatinya. Ia tetap bercanda dan berdebat hal sepele dengan anak freak lainnya, Alam.
"Gue punya tebak-tebakan, yang nyerah beliin gue sioma---" Jevin memasukan buntalan kertas ke dalam mulut Alam.
"Diem lah, mulut lo bau." Jevin menyedot susu pisang yang dibelinya seraya membaca teks pidato bahasa inggris dengan seksama.
"Kakak lo udah balik, Yo?" Aku bertanya pada Gio yang tengah membantu mengoreksi juga memberi saran pada poin-poin pidato Jevin. Oh ya, omong-omong, tiga hari lagi Jevin akan berlomba pidato tingkat kota. Katanya ia berambisi agar lolos pidato ini hingga tingkat nasional untuk dapat ucapan selamat dari Kenzie. Makanya, beberapa hari kebelakang ia tampak lebih sensitif.
"Abang sulung gue udah balik ke Amerika. Kakak perempuan gue juga udah balik, tinggal abang gue yang kedua, katanya masih ada beberapa hal yang harus diurus---Vin, ini ilangin deh, kaya ngga nyambung sama pointnya." Gio dan Jevin sibuk membenarkan naskah.
"Lo kan udah menang lomba debat tingkat kota, Vin, dua hari lalu," Radit berujar, mengunyah sesuap mie ayam sebentar lantas kembali bertanya ketika Jevin hanya meliriknya. "Emang belum dapat ucapan selamat?"
"Dapet dia," jawabku. "'Congrats, Vin' terus emot terompet sama bintang-bintang."
"Lo bukannya ikut lomba cerpen gitu ya, Vin?" Giliran Alam yang bertanya.
"Iya."
"Terus, udah? Menang nggak?"
"Gue ngirim 10 naskah. 2 menang, 3 kalah, 5 belum ada informasi." Jevin menggaris penggalan kata pada teksnya dengan stabilo ungu. "Lomba itu sebenernya untuk nambah sertifikat gue aja sih."
"Lomba lu masih apa lagi?" Aku bertanya kembali.
"Pidato ini, nulis cerpen di acara Bulan Bahasa sekolah ini, sama debat tingkat provinsi itu."
"Iihh merinding gue," Radit memamerkan bulu tangannya yang berdiri. Sedangkan Alam menghela nafas lelah sambil berkata, "Lu yang lomba kok gue yang capek ya?"
"Nggak salah sih Babeh Jali ngasih nama lo Jevin Aksara, secinta itu ya," kataku takjub.
"Overall bagus, Jev. Cukup. Gue nangkep point yang mau lo sampaikan," Gio memberikan kertas naskah Jevin kembali. "Good luck, Buddy."
Jevin merapihkan kertas-kertasnya. Tak lama setelah itu, Kenzie datang ke meja kami---omong-omong, sejak tadi kami di kantin. "Ra, anterin gue nyari Bu Sari yuk."
"Oh, oke bentar, mau bayar susu dulu."
Sebelum aku beranjak, Kenzie bertanya sesuatu pada kawanku. "Lo mau lomba ya, Vin? Speech?"
"Iya, tiga hari lagi. Ambis banget ya, padahal kemaren baru juara debat." Radit seperti biasa bersikap sok asik.
"Bagus dong. Semangat ya Vin, jangan sampe kalah. Jangan malu-maluin sekolah." Kenzie berpaling padaku. "Udah, Ra? Yuk"
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Roman pour Adolescentsforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020