"Kalian pokoknya bapak peringatkan sekali lagi, untuk tidak coba-coba ikut tawuran." Di podium, Pak Dani berkacak pinggang, mata tajamnya menelisir wajah para murid yang kelelahan setelah dijemur lebih dari dua jam. "Memang apa untungnya sih? Luka, iya, mati, iya. Prestasi apa yang mau dibanggakan dari sebuah tawuran? Coba jawab bapak!"
Aku melirik ke arah keempat temanku, mereka tampak sama lelahnya dengan murid lain. Bahkan, Alam yang biasanya punya banyak energi untuk menjaili atau membuat bercerita, kini hanya terdiam dan pucat pasi.
Setelah mendapat kabar mengejutkan dari Gio kemarin, kami sempat mencoba menghubungi Radit. Namun, ponsel yang bersangkutan tak bisa dihubungi. Kami juga mencoba menghubungi kakak laki-lakinya, tetapi ia tampak tak tahu menau juga mengenai hal yang dialami Radit. Ajaibnya, sang kakak terdengar amat sangat tenang ketika kami panik setengah mati. Ia malah meminta kami untuk tenang dan mencoba menghubungi lagi esok harinya.
Berita tawuran itu tentu saja menyebar ke sepenjuru sekolah, dibicarakan di tiap kelas dan disayangkan oleh para guru. Ada kurang lebih tigapuluh murid sekolah kami yang tertangkap dan di-scors selama satu minggu‐--termasuk Radit di dalamnya. Sekolah kami maupun sekolah yang menjadi lawan tawuran kemarin punya jumlah jatuh korban seimbang, belum ada kabar dari siapa-siapa saja yang dimaksud. Gio bilang, korban tewas bukan berasal dari sekolah ini, tetapi ini juga kabar buruk karena hal itu berati salah satu atau beberapa murid adalah pelaku pembunuhan tersebut. Hal ini yang membuat kami berlima tidak sabar mendengarkan amanat apel pagi ini.
"Dani gila ya, jemur kita hampir dua setengah jam gini, anjing!" Sisil, teman yang berbaris di depanku menghentak-hentakan kakinya ke tanah.
Aku menghela nafas panjang. Aku juga berharap apel ini segera berakhir.
"Aira," Seseorang memanggilku, aku lantas menoleh ke samping kanan. Ia Gilang, teman yang juga dekat dengan Radit. "Nanti kasih tau kita kabar Radit ya!"
Aku tersenyum, mengangguk.
Pak Dani baru membubarkan para murid ketika salah seorang murid jatuh pingsan. Kerumunan murid yang berhamburan menuju kelasnya kami manfaatkan untuk segera menuju samping sekolah. Alam menuntun kami jalan, menyibak rumput-rumput dan tanaman rambat liar. Remaja lelaki itu dengan gesit memanjat dan melewati pagar, ia memintaku untuk melepar tas, mengulurkan tangan, membantu aku yang kesulitan melewati pagar tersebut. Hal itu juga dilakukan oleh Gio dan Jevin. Jevin mendorong kami untuk segera maju ketika salah seorang guru terlihat tengah mengecek aksi-aksi seperti kami lainnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Radit, kami hanya menciptakan keheningan. Tidak ada yang mencoba membuka percakapan hingga kami berada di depan rumahnya.
"Abangnya udah jawab pesan lu?" Alam bertanya pada Jevin.
Jevin sendiri menggeleng, mengecek ulang pesan yang dikirimnya tadi. "Belum, dia nggak jawab."
Alam mengetuk pintu, memberi salam.
Lama tak terdengar jawaban dari pemilik rumah, kami saling melirik. Degub jantungku bahkan bisa terdengar jelas.
"Taro aja Bang paketnya di depan." Suara Radit terdengar kemudian, dari suaranya yang serak aku menduga ia baru saja bangun tidur. Kulirik Jevin yang menghela nafas lega.
Alam berubah mengedor pintu. "Ini kita anjing!"
Suara kunci pintu terdengar dibuka dengan terburu-buru, Radit muncul di muka pintu. Ia hanya mengenakan boxer bermotif Hawaii berwarna biru muda. Di dahinya tertempel perban, beberapa luka basah di tubuhnya; lengan yang tergores dan beberapa lebam kebiruan. "Eh? Anjir!" Ia mengucek-ucek matanya, melirik ke arah jam dinding di dalam rumah. "Kalian bolos?"
![](https://img.wattpad.com/cover/227657981-288-k624878.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Teen Fictionforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020