= happy new year! dari kami kultus penyembah uang gio =

22 0 0
                                    

Tahun itu amat berjalan baik

Aku menutupnya dengan rasa syukur

Jadi, seharusnya aku berhenti menyesali apa yang pernah terjadi

_____

Pesta tahun baru.

Sesuai dengan rencana yang telah kami rundingkan, Gio mengajak kami untuk berpesta di salah satu villa milik teman ayahnya---ralat, sebetulnya itu rumah teman ayah Gio. Karena pertama kalinya dalam hidup aku bermalam di luar kota, agak sulit untuk mendapatkan izin dari mama. Untungnya, Gina membantuku untuk meyakinkan mama, dia berkata bahwa mama boleh bergantung kepercayaan pada Jevin. Alhasil, kini hampir lima belas menit sekali Gina menelpon Jevin untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.

"You really bother me, Bocil." Jevin mengangkat panggilan Gina setelah adikku memanggil untuk kesepuluh kalinya. Aku mencoba menyibukan diri ketika tatapan tajam Jevin mengarah padaku---dalam mode marah, tatapan itu niscaya dapat menembus jiwa.

"Kakak gue mana?!" Gina berteriak dari sebrang telepon.

Jevin memutar bola matanya jengah, lantas menyemburku dengan, "Lo ngeblok kontak adik lo, Ra?" Ia menyodorkan ponselnya padaku setelah menyalakan fitur loudspeak, kemudian melotot memintaku berbicara.

"G-Gue di samping Jevin, Gin," aku berucap. Beberapa detik kemudian, panggilan tersebut berubah menjadi permintaan panggilan vidio. Segeranya, layar berganti menjadi penampakan kening kinclong Gina beserta bandana marmutnya.

Di saat yang bersamaan, Radit hendak mengambil pisau untuk memotong jagung. Sebagai Radit, tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengejek, "Hahaha, jidat lo gede amat."

"Bacot lo, Radit. Makin jelek aja," balas Gina tak kalah sewot.

Jevin meraih balik ponselnya, ekspresi sebal di tunjukannya. "Lo ganggung," Jevin menegaskan, ia kemudian melanjutkan. "Kalo lo takut Aira diapa-apain. Just wanna you know. We don't have taste with Aira. Gue lebih mau barbeque-an, makan jagung, push rank, terus tidur sampai siang. So, stop fucking call me, okay? Because that's really bother---"

"Jagain kakak gue!"

Jevin menghela nafas, alisnya menukik semakin dalam. "Iya, bacot. Udahlah."

"Ter--"

Telepon terputus. Jevin menaruh ponselnya jauh-jauh, sedang ia kembali berkutat pada kegiatannya mengatur panggangan.

Merasa tak enak, aku memutuskan untuk meminta maaf pada Jevin. "I'm so sorry, Jev, Gina memang nyusahin."

"---sstt, kita mau pesta, mau happy-happy, jadi jangan ngga enakan." Jevin mengelap peluh di keningnya. "Gue ngerti. Kalo lo anak babeh gue, pasti bakal lebih repot. Paling bapak-bapak itu bakal ikut, terus kalau lo nggak bisa dihubungi, dia pasti bakalan nelponin semua anggota keluarga temen lo yang lain buat nanya lo." Jevin mengangkat capitan, menunjuk-nunjuk ke arahku tampak menimbang ucapan selanjutnya. Setelah beberapa saat, ia berkata, "---beside true story."

Aku tertawa membayangkan betapa marahnya Jevin setelah tahu Babeh Jali berbuat seperti itu. "Pantes lo sebel banget sama babeh lo."

Jevin hanya tersenyum kecil.

Aku padahal menunggu ia melanjutkan dengan: nggak kok, sebenernya gue sayang dia. Namun, hal tersebut tak keluar dari mulut Jevin, sebab atensi kami dialihkan oleh keributan dari dua sosok mahluk pecinta kerusuhan.

membulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang