= just wanna remind u, it's not romeo and juliet story =

20 1 0
                                    

Benar

Kisah kita tidak seperti romeo and juliet

Karena ini kisah Aira dan Cio

_____

Minggu ini weekend datang begitu cepat, anggota kultur penyembah uang Gio tidak bermain sebab beberapa di antara mereka tengah sibuk dengan urusan masing-masing: kakak-kakak Gio tengah pulang dan tinggal selama beberapa hari, alhasil Gio harus mau mengikuti semua acara keluarga dan menerima pelajaran perihal bisnis; berbeda dengan Gio, Jevin sedang sibuk-sibuknya dengan segala lomba, karena sudah masuk bulan Oktober. Ia biasa mengirim cerpen atau puisi atau ikut lomba pidato dalam rangka memperingati bulan bahasa; Alam yang kupikir hanya ingin menghabiskan masa sekolahnya dengan mencoba berbagai makanan gratis, diam-diam menjadi kandidat ketua organisasi pecinta alam---kuharap sungguh tak ada hubungannya dengan pernyataan alam yang merasa tak ada orang yang mencintainya; Radit sendiri berkata bahwa ia tengah sibuk melakukan kegiatan volunteer, aku ikut senang karena ia jadi lebih berguna dalam hidup.

Apa? Kau bertanya aku sibuk apa?

Sayangnya tidak ada. Aku hanya menghabiskan waktu untuk belajar membuat eyeliner, me-mix and match baju-baju untuk menemukan outfit baru, mencover lagu, membaca novel, dan tentu saja, chatting-an dengan Cio Immanuel.

Jangan berpikir bahwa chatting-an hanya membuang-buang waktu---jika memang ya, barangkali orang-orang memang chatingan oleh orang yang salah. Selain chatting-an, Cio mengajakku belajar bersama walau hanya dengan video call WhatsApp, setelahnya kami berbincang perihal kegiatan dan banyak lainnya.

Omong-omong, ini hari minggu, hari yang paling aku tunggu-tunggu, sebab beberapa jam lagi aku akan pergi bareng Cio yuhuuu~

"Widih udah jago nih sekarang mah," Gina  yang baru bangun tidur berkomentar dari ambang pintu kamarku. Ia melangkah masuk dan menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. "Pinjem handphone lu dong!"

"Di meja," kataku seraya menorehkan eyeliner di sudut kelopak mata sebelah kanan.

Gina meraih ponselku dan melakukan sesuatu di sana.

"Ngapain, Dek?" tanyaku kemudian.

"Kirim nomor Cio sama nomor Kenzie. Biar kalo lu belum pulang dari jam 10 bisa gue hubungin kedua orang itu."

Menghela nafas, aku menyunggingkan senyum pada Gina. Gina yang overprotective memang menyebalkan. Kuraih ponselku dari tangan Gina. "Everything is gonna be okay. Lo kaya gue ngga pernah main malem aja. Gue kan juga pernah main sama yang lain sampe jam 1," tuturku pada Gina.

Adikku itu mengerucutkan bibir. Dipeluknya boneka Goblin miliknya, lantas beralasan, "Kan kita ngga tau si supir angkot itu gimana."

"Cio baik. Percaya sama gue," tenangku.

"Lu dijemput, kan?"

"Iya."

"Tunggu, Ka."

Gina berlari ke luar kamarku. Kemudian, tak berselang lama ia kembali hadir dengan muka yang jauh lebih segar dan baju yang berbeda. Ia mengoleskan pelembab ke wajahnya. "Gue mau ketemu dia," kata Gina.

"Engga usah lah," kataku buru-buru.

"Kenapa? Gue berhak tau lah."

"Engga usah, Dek."

"Apa sih, Kak? Lu nyembunyiin sesuatu kali?"

"Nggak."

"Jangan-jangan si supir angkot jemput lu pakai angkot beneran."

membulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang