Bagian dirimu yang amat aku suka
Sungguh, aku masih mengaguminya kini
_____
Aku melirik ke arah Cio setelah melihat jam di tanganku telah menunjukan angka 12.58 AM. Kugigit ujung ibu jariku dengan gugup. "Cio maaf ya, karena gue lama kita jadi kejebak macet kaya gini."
"Eh?" Cio melirikku sesaat sebelum memfokuskan konsentrasi dan pandangannya ke arah jalanan kembali. "It's not your fault, Ra. Gue salah ngambil jalan, terus juga emang selalu macet kan."
Aku menghela nafas lelah, sebal dengan kecerobohan dan ketidakpatuhanku pada waktu. "Sama aja kan, harusnya kita lebih cepet berangkatnya. Cuma dua jam doang lagi waktunya."
Cio tersenyum. "We can make it, Ra," ujarnya hangat, tak lama ia menambahkan, "Percaya deh, telat 15 juga gapapa. Kalo nanti keburu abis nanti minggu depan—atau besok juga bisa kita balik lagi."
Sabtu siang ini adalah dating plans kami yang kedua. Museum Dating. Kami hendak menghadiri exhibition tema modern kontemporer yang belakangan ini cukup terkenal di sosial media. Sejujurnya ini kali pertama aku pergi ke tempat seperti itu, karena selama ini aku pikir---sebagai anak yang tidak begitu melek dengan rasa dan nilai dari sebuah seni---tempat seperti itu bisa membuatku mengantuk. Namun, setelah Cio menunjukan beberapa postingan orang yang pernah mengunjungi museum, aku pikir semua itu kelihatan cantik dan menarik.
Omong-omong, tanpa diduga dan rencanakan, aku dan Cio mengenakan pakaian yang match. Hari aku memilih untuk mengenakan black turttleneck yang aku timpah dengan korset hitam dan blezer cream, kemudian aku padu padankan dengan mini skirt beige dan sepatu pantopel hitam. Cio sendiri mengenakan kemeja lengan panjang putih, yang ia timpah dengan vest hitam, dan dipadukan celana weist hitam. Outfit itu sangat cocok di tubuh Cio yang tinggi. Aku sampai terdiam ketika melihat Cio dengan pakaian seperti itu---semata-mata menahan diriku untuk tidak bertingkah kegirangan.
Tiga puluh menit terjebak macet, akhirnya kepadatan mobil menurun, sehingga mobil Cio dapat bergerak dengan lebih leluasa di jalanan ibukota.
"What i said?" Cio menoleh ke arahku. Melemparkan senyumnya yang selalu manis. "We can make it."
Sepuluh menit setelah keluar dari kemacetan jalan, kami sampai ke museum tujuan.
Aku dan Cio segera masuk ke dalam museum.
Jauh dari apa yang aku pikirkan dahulu, ternyata mengunjungi museum amat menarik dan menyenangkan---terlebih kalau sama Cio, hehe. Bukan hanya dari keunikan karya-karya seni yang ditampilkan, tapi cerita dan pesan di balik karya itu sama sekali tidak terpikirkan olehku. Tiap sudut museum aku bisa menemukan sudut pandang berbeda dari apa yang aku lihat dan penjelasan dibaliknya. Sudut-sudut itu menyampaikan rasa dengan cara berbeda. Kubuat catatan mental untuk mengunjungi museum-museum lainnya dengan Cio.
Aku berdiri di depan salah satu karya lukis surealis yang menggambarkan mata sebagai sumber pandangan.
"Cantik ya." Cio yang berdiri di sampingku memotret lukisan tersebut.
Aku mengangguk, lantas menoleh pada Cio. "Im so happy to visited this museum. Thank you for bring me here, Cio."
"My pleasure, Ra."
Aku melemparkan senyum. "Selanjutnya lagi yuk."
"Ke museum lagi?"
Aku mengangguk.
"Okay," Cio tersenyum lebar. "Ada banyak museum di ibukota yang nggak kalah cantik dari museum ini. Nanti ya!"
"Can't wait for that!"
KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Novela Juvenilforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020