= welcome masalah baru =

11 1 0
                                        

Di sini, awal semuanya

Di mulai dari sini, bagaimana kamu menyakiti diriku

_____

Esok harinya, kami dijemur di bawah sinar matahari untuk hormat kepada bendera merah putih.

"Gue punya tebak-tebakan." Untuk ketiga kalinya Alam berkata. Aku dan Jevin kompak menghela nafas. "Berwarna hitam, turun kepala duluan. Nyerah beliin gue siomay Kang Ben."

"Punya lo," jawab Jevin ngasal.

"Gue kan ngga menyertakan panjang."

"Haha hitam." Jevin mencemooh, Gio ikut menertawakan. Sedangkan aku memilih menghela nafas ketika pembicaraan mereka mulai mengarah ke dirty jokes.

"Coba jawab, lo belum pada jawab."

"Batu." Aku mencoba.

"Batu mana punya kepala?"

"Kepala batu?"

"Freak banget jokes-nya. Udah lah."

"Si Gio belom, si Gio belom," Alam mengingatkan dengan heboh. "Ayo Gio menyerah, gue pengen siomay, tapi nggak punya uang nih."

"Gue coba jawab dulu," kata Gio.

"Yah, nyerah aja dong."

"Perasaan miskin tiap hari lo, Lam."

"Padahal semalem pecel lele bapak lo rame," Aku menimpali.

"Gue kan anak tengah." Kami bertiga kompak melirik ke arah Alam ketika ia menghela nafas berat. Remaja lelaki aneh itu tengah tersenyum pada sang merah putih, kemudian ia berkata dengan dramatis. "Mungkin kalian nggak mengerti bagaimana sulitnya jadi anak tengah. Hari-hari terlupakan, mengalah, dan dimarahi. Gue punya kakak yang harus dihormati, serta adik yang harus disayangi. Sebagai anak tengah, gue harus bisa hidup sendiri, berjalan menerjang kerasnya kehidupan tanpa arahan orang yang lebih tua. Karena punggung dan kesabaran anak tengah ...." Alam menoleh ke arah kami. Melemparkan senyum sok keren. "Harus lebih kuat dan besar dibanding anak lainnya."

Kami terdiam. Bukan karena cerita menyentuh Alam, melainkan kehabisan kata-kata untuk menanggapi tingkah aneh anak remaja yang satu ini.

"Udah minum obat belom sih dia?" Aku bertanya lelah.

"Mending suruh dia minum sianida, biar ngga warasnya hilang beserta nyawanya," Jevin berkata sambil menoleh tidak peduli.

Kami kembali pada aktivitas penghormatan yang tengah dilakukan, tanpa memperdulikan atau menaruh simpati pada Alam. Ia masih mencoba bersikap dramatis dan tersenyum-senyum tidak jelas.

"Jawabannya semut turun dari atas pohon ya, Lam?" Aku lupa bahwa Alam masih punya Gio yang punya jiwa tak enakan---ia bahkan masih sempat-sempatnya menanggapi permainan tebak-tebakan Alam.

Alam mengangguk pelan. "Benar. Barangkali, kesabaran adalah saudara kandung anak tengah. Bila bukan hari ini, mungkin esok adalah waktu diriku makan siomay gratis."

"Udahlah, Lam, plis lo freak banget," Jevin sudah kelelahan.

"---Kenzie, Kenzie, Kenzie." Alam tiba-tiba berseru heboh.

Jevin yang semula mleyot langsung membenarkan posisinya menjadi tegak dan tegang. Aku dan Gio celingak-celinguk mencari sosok Kenzie di sekitar, kemudian kami baru tersadar ketika dengan menyebalkannya Alam tertawa. "Yhaa, kamu kena prank!"

"Ribut lah kita!" Jevin maju ke arah Alam, mencengkram kerah bajunya kencang. Namun, tanpa rasa bersalah ataupun takut Alam masih tertawa-tawa menjengkelkan.

membulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang