Hari-hari yang berjalan baik itu
Aku tak pernah berpikir bahwa aku akan menyesali terjadinya hari-hari itu kini
_____
"Thank you." Jevin membungkukan badannya, kemudian berjalan kembali ke sofa tempat ia menyimpan tumpukan kertas naskah miliknya. Hari Sabtu pagi ini kami berlima tengah merayakan kembalinya basecamp lama a.k.a rumah Gio. Kami baru saja mendengar latihan speech Jevin, Radit berteriak-teriak heboh, sedangkan Alam tampak tengah sibuk membaca kertas yang dibagikan Jevin.
Jevin menenggak air mineralnya. "Gimana? Ada saran, nggak?" tanyanya.
"Gue nggak begitu paham bahasa inggris." Alam berkata.
Radit nyengir. "Sama Lam." Ia mengajak Alam bertos ria, tetapi tak dibalas oleh sang kawan. "Tapi lo bagus Vin, udah mulai menguasai dan nggak kaku. Good good good. Traktir kopi lah pokoknya kalau menang."
"Setuju," seru Alam tiba-tiba. Ia tersenyum lebar. "Traktir kopi."
"Buat lo Kapal Api," balas Jevin, lantas merebahkan dirinya. "Gue ada janji jam 12. Bangunin ya nanti."
"Oke. Met bobo." Gio membalas selagi tangannya sibuk mencari serial yang ingin di tontonnya. Alisnya sampai bertaut.
Semangat latihan musikalisasi puisinya ;) (10.17 AM)
Aku tersenyum melihat pesan tersebut. Semalam, kami banyak mengambil gambar di kamera film milik Cio. Lagi-lagi membicarakan musik hingga tak sadar jam merangkak ke angka sebelas malam. Untungnya, sesampainya aku di rumah, kedua orang tuaku sudah tidur, sedangkan Gina menungguku pulang seraya menonton drakor baru lagi, aku berhasil menyogoknya dengan sempol ayam ketika adikku yang manis itu hendak mengamuk ketika tahu aku keluar bersama Cio.
"Nonton film lama aja, Gio." Alam memberi saran ketika hampir lima menit berlalu, tanpa satupun film yang berhasil Gio pilihkan.
"Sini, gue aja yang milih," Radit mengambil remot dari tangan Gio.
"Gue laper," keluh Alam. Padahal baru satu jam berlalu setelah ia sarapan lontong sayur bersamaku, Radit, dan Jevin.
"Lambung lo seluas apa sih? Laper mulu perasaan hidupnya." Aku melempari Alam dengan bantal kecil.
"Biasa, bocah miskin." Radit no filter.
Gio tersenyum maklum. "Biar orang yang amat kaya ini mengambilkan cemilan untukmu, rakya jelata."
Alam duduk melipat kaki, kemudian membuat pose menyembah. "Terima kasih, Gio. Atas kebaikanmu kepada anak tengah tertindas ini."
Aku mengeleng-geleng, meski sudah satu tahun lebih aku mengenal mereka, tetapi aku selalu terkejut dengan tingkah-tingkah tidak tahu malu mereka. "Istigfar, Alam," kataku.
"Astagfirullahalazim." Alam memukul dahi Radit dan dengan dramatis ia berakting tengah meruqiah teman badungnya itu.
"Ya allah capek."
Tepat ketika Gio kembali dengan berbagai cemilan dan minum-minuman, ponselku berbunyi. Itu dari temanku, Alesha. "Oh lo udah otw? Okey, gue juga otw‐--okey, Bye."
Aku merapihkan barang-barangku. "Mau kemana, Ra?" tanya Gio.
"Latihan musikalisasi puisi."
"Yey, jatah snack lu buat gue ya!" Alam dengan rakus meraup ciki ke dalam mulutnya.
"Terserah," kataku lantas beranjak, Gio mengantarku sampai tangga. "Bye, Gio have fun, jangan lupa bangunin Jevin."
Gio mengangguk patuh. "Semangat, Ra."

KAMU SEDANG MEMBACA
membulan
Dla nastolatkówforme d'amour series #1 mem·bu·lan [v] menyerupai bulan; // Ada benang merah antara angkot, jodoh, dan plastik seperempat. Aira tahu akan hal itu, tapi ia tidak pernah tahu, akhir apa yang akan membawanya. // copyright © annisacahyanisurya, 2020