14

606 61 9
                                    

Minho melangkahkan kakinya menyusuri jalanan di kota dengan santai. Ia bahkan seakan tidak memperdulikan jika dirinya akan tertangkap oleh gerombolan fans yang melihatnya berkeliaran di kota tanpa masker. Siang itu, sepulang latihan ia hanya ingin menikmati suasana kota dengan santai begini. Sudah lama ia tidak berjalan sambil menikmati tempat-tempat yang pernah menjadi saksi perjuangannya demi menjadi seorang penyanyi. Minho tak sendiri, karena di sebelahnya ada Felix dan Jeongin yang memilih ikut bersamanya dengan alasan yang sama, ingin bernostalgia akan saat-saat mereka traniee dulu.

Sampai di sebuah lapangan yang ada di tengah-tengah taman kota, Minho menghentikan langkah kakinya. Ia memperhatikan suasana di sana dengan senyum yang tanpa sadar tersungging di bibirnya. Felix pun tertarik untuk menoleh dan menatap ekspresi wajah laki-laki dengan manik kucing tersebut. Ia tau, temannya itu pasti sedang menyusuri ingatannya akan beberapa waktu lalu yang kini telah menjadi kenangan berarti baginya.

"Aku ingat, dulu kau sering pergi ke sini untuk menari, kan?" tanya Jeongin yang berdiri di sebelahnya.

Minho menoleh sekilas sambil tersenyum.

"Benar, aku suka sekali melakukan busking di sini. Banyak kenangan yang tertinggal di sini dan terkadang aku merindukannya." balas Minho.

Bebarapa kepingan puzzle akan masa lalunya bertebaran di dalam otaknya dan membentuk sebuah visual yang membuatnya rindu. Ia juga heran, kenapa tiba-tiba dirinya jadi melankolis begini? Entahlah, ia hanya merindukannya. Melihat teman-teman satu grupnya telah menemukan cinta mereka masing-masing membuatnya rindu akan sesuatu yang mungkin tidak akan bisa ia raih lagi. Apakah itu? Siapakah itu? Minho pun meminta waktu untuk tidak mengungkapkan ingatan itu kembali.

"Apa kau merindukan mereka, Minho?" tanya Felix.

"Aku selalu merindukan mereka. Kau pun juga sama, kan? Semuanya juga. Kita merindukan mereka yang telah berhasil memilih jalan mereka masing-masing. Padahal dulu kita berjuang bersama-sama di sini, tapi ternyata jalan kita memang tidak berada di penghujung yang sama. Sayang sekali."

Mata Minho menerawang jauh ke depan. Felix masih setia memperhatikannya. Terkadang ia menyadari kalau sosok di sebelahnya itu seperti sedang menahan sesuatu walaupun di kesehariannya ia terlihat sangat ceria dan jahil.

"Kau masih mengingatnya?" tanya Jeongin.

Ia sadar akan siluet yang seakan-akan sedang ditatap Minho sekarang.

"Mau aku mengingatnya atau melupakannya pun lama-lama tetap akan memudar juga bila aku tidak pernah melihatnya lagi."

Felix sedikit menyunggingkan senyumannya. Benar juga. Yang patut dipertahankan sekarang adalah masa depan, bukan masa lalu.

"Kalau begitu kau sudah melupakannya, dong, sekarang?"

Minho terdiam.

'Mungkin saja.'

Bila dibilang bahwa mereka sedang merindukan masa lalu, Felix jauh lebih menyadari kalau Minho bukan hanya merindukan masa lalu akan teman-teman masa trainee mereka dulu, tapi lebih kepada bayangan yang selalu membawa tas gitar di punggungnya, tersenyum setiap saat sambil bernyayi di sebelah sosok tersebut.

"Mempertahankan yang sudah memudar bukan hal yang benar. Sama saja berharap pada kehampaan."

Setelah mengatakan hal tersebut, Minho kembali melangkahkan kakinya beranjak dari sana.

"Dia sepertinya masih mempertahankan rasa di hatinya." lirih Jeongin.

Felix merasa kata-kata itu masuk ke telinganya, tapi ia tidak mau mendengarkannya. Buat apa mempertahankan yang sudah hilang kalau seseorang itu memiliki yang masih nyata berada di dekatnya.

It's Not Right, I Know ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang