23. Modus

703 88 11
                                    

23. Modus


***

Cukup matematika aja yang ada modusnya, kamu jangan.


--------

Elina memberanikan diri berjalan sendirian di koridor kelas 12 IPS. Istirahat sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Jadi, bukankah seharusnya kelas kakak kelasnya itu sepi?

Elina berjalan santai saat melewati kelas 12 IPS 1. Matanya melirik sedikit, siapa tahu orang yang dicarinya berada di dalam sana.

Manik cokelatnya menemukan Mirza yang berdiri dan berjalan keluar kelas. Entah kemana tujuannya, Elina jelas tak tahu dan tak mau tahu untuk kali ini.

Menghirup napas panjang, dia melongokkan kepalanya untuk memastikan kalau orang yang dicarinya benar-benar berada di kelas yang tengah kosong itu.

"Ngapain lo?"

"Eh, ayam! Ayam!" Elina latah kaget dan refleks membalikkan badannya dengan kepala menunduk tak berani menatap orang yang memergokinya.

Pemuda jangkung itu mengernyit sebentar, memindai Elina dari ujung kepala sampai kaki. "Lo, siapa?" tanyanya.

Elina masih menundukkan kepalanya, takut untuk mendongak dan kakak kelas itu akan memarahinya saat melihat wajahnya yang sangat cocok untuk dirundung. "Ma-maaf, Kak, aku cuma lewat aja tadi," jawabnya gugup.

"Lo ngomong sama siapa, sih? Gue disini, bukan di lantai."

Menelan ludahnya, Elina mendongakkan kepala. Matanya melebar menatap pemuda yang tengah tersenyum lebar menampakkan gigi kelincinya.

"Gue Daniel, lo siapa?" Pemuda itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Elina dengan gugup, "Elina, Kak."

"Kaku bener, anak IPA, ya?"

Elina mengangguk. Ya, tak salah, sih. Dia, kan, memang anak IPA.

"Mau ngapain?"

Otak Elina terasa buntu saat harus memikirkan jawaban apa yang harus diberikannya pada kakak kelas tampan bergigi kelinci di depannya ini. Matanya melebar begitu mengingat kalau orang yang dicarinya ada di depannya.

"Kakak, kak Daniel?" tanya Elina, memastikan. Dia harus benar-benar memastikan kalau di depannya adalah Daniel yang Arisha bilang adalah temannya Mirza.

Daniel terlihat mengangguk. Mengernyitkan keningnya bingung.

"Seriusan? Beneran kak Daniel, kan?" Kini Elina tak dapat menahan senyuman lebarnya begitu Daniel kembali mengangguk.

Refleks Elina meraih kedua tangan Daniel dan menggenggamnya. Menatapnya tepat dengan tatapan memelas. "Bantuin aku ya, Kak?"

Sejenak Daniel merasa terpesona pada adik kelasnya ini yang ia kira kalem. Tapi, justru kebalikannya, dia terlalu aktif. Daniel buru-buru menggelengkan kepalanya, mengusir segala pemikiran absurdnya tentang gadis di depannya ini.

"Bantuan apa? Lo gak nyuruh gue nyuri, kan? Iya, gue tahu kalau duit gue banyak, tapi masih banyakan punya Mirza, sih. Tapi, gak mungkin, kan, kalau Daniel cowok tampan seangkatan harus nyuri?" cerocosnya tanpa henti. Elina hanya menatapnya tak percaya kemudian sebuah tawa riang keluar dari bibir mungilnya.

Elina mengibaskan satu tangannya. "Enggak, lah, Kak. Ngapain juga aku nyuruh Kakak nyuri, dosa tau!"

Daniel terkekeh pelan. Sepertinya gadis di depannya sangat menarik. "Terus bantuan apa yang lo butuhkan?"

"Kak, kalau aku suka sama Kakak, gimana?"

"Ha?" Daniel terperangah mendengar pengakuan Elina, adik kelas yang baru di kenalnya beberapa menit lalu.

Elina menelan ludahnya gugup. Tangannya meremas rok abu-abunya, untuk melampiaskan kegugupannya sekarang. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri kenapa malah mengatakan hal itu. Refleks saja sebenarnya, karena tadi sudut matanya menangkap Mirza yang tengah berjalan ke arah kelasnya, atau mungkin dia saja yang terlalu berharap kalau pemuda itu melangkah kemari?

"Lo gak ngelantur, kan?" tanya Daniel. Pemuda bergigi kelinci itu meletakkan tangan besarnya pada dahi Elina, untuk mengecek suhu tubuh perempuan di depannya, "gak panas, nih."

"Aku gak apa-apa, kok," sela Elina cepat, "aku cuma mau bilang kak Daniel nanti pulangnya sama aku, ya. Aku tunggu di lobi aja karena aku gak tau kak Daniel parkir dimana."

Daniel semakin mengerutkan dahinya. Dia merasa ada yang aneh disini.

"Kak Daniel, jangan lupa pulangnya bareng aku, oke? Aku gak akan pulang sebelum kak Daniel nebengin aku," ucap Elina.

"Tapi, gue numpang di mobil Mirza," kata Daniel, tangannya menunjuk sebuah kursi kosong yang sudah pasti itu milik Mirza.

Bahu Elina turun. Dia sudah merasa tak ada harapan lagi sebelum sosok Arisha muncul, melayang di samping Daniel yang masih berdiri menatapnya.

Elina terdiam. Menatap Arisha lama, kemudian mengalihkan pandangannya pada Daniel. Elina sedikit terhuyung ke belakang saat kepalanya terasa sakit. Dia memijit pelipisnya pelan.

"Lo gak apa-apa?" tanya Daniel khawatir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo gak apa-apa?" tanya Daniel khawatir. Dia bahkan sampai memegangi lengan Elina yang hampir terjatuh tiba-tiba. Dalam hati berpikir, apakah ini karena dia menolaknya?

Sebuah memori masa lalu muncul begitu saja, membuat Elina terhuyung ke belakang. Nyaris jatuh kalau saja Daniel tidak memegangi lengannya. Dia menatap Daniel tertegun.

"Apa?"

Elina menegakkan tubuhnya, melepaskan tangan Daniel yang masih memegang lengannya. Pemuda bergigi kelinci itu menatapnya dengan khawatir.

"Kak, mau tau satu hal yang paling rahasia?"

Daniel mengernyit, otaknya mulai berpikir keras dengan apa yang dimaksud Elina. Bersama gadis ini dia merasa perlu memutar otak lebih keras.

"Aku tahu Kakak suka sama Arisha. Jadi kalau Kakak mau tau lebih dalam, kita bisa pulang bareng nanti." Elina menunjukkan senyuman manisnya, setelahnya dia melangkah kembali ke kelas karena bel masuk baru saja berbunyi.

Daniel masih terdiam membeku di tempatnya. Sampai tepukan di bahunya membawanya kembali ke realita. Dia menatap orang itu linglung.

"Lo mau ngapain sama Elina?" tanya Mirza menyelidik. Ya. Dia yang menepuk bahu Daniel dengan keras. Sengaja untuk melampiaskan kekesalannya. Tapi, sayang Daniel tak mengaduh kesakitan malah hanya menatapnya seperti orang linglung.

"Gue pinjem mobil lo ntar, ini penting," ucap Daniel cepat dengan melangkah menuju kursinya yang tepat berada di belakang kursi Mirza di tengah.

Mirza hanya menatapnya bingung. Aneh sekali. Daniel tidak suka menyetir mobil sendiri semenjak kepergian perempuan itu, membuat Mirza terserang pening ketika memikirnya.

"Loh, Mirza? Kenapa kamu masih berdiri disini?" Suara Mr. David, guru matematika membuat Mirza kaget dan segera berjalan cepat ke kursinya.



***

Heyooo! Bertemu lagi dengan Riz yang kiut ini :p

Bentar lagi tamat nih, jangan lupa beri dukungan dengan cara tekan tombol star di pojok kiri bawah dan juga berikan komentar kalian^^

Wings ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang