15. Menghangat

812 108 40
                                    

15. Menghangat




***


"Apapun yang terjadi, seberat apapun masalah yang lo hadapi, gue akan selalu ada di samping lo. Karena lo, adik gue." –Erza

-------



Elina berguling di atas tempat tidur. Tak menghiraukan Milo yang terus menatapnya sedari tadi. Elina menghela napas, mengubah posisi menjadi duduk. Lalu menatap jam yang tergantung manis di dinding kamar. Sudah pukul 9 malam, tapi Elina tak bisa tidur.

"Elina."

Elina menoleh pada pintu, berharap yang memanggilnya barusan adalah Erza.

"Elina."

Elina refleks menoleh ke samping saat ada suara berbisik memanggil namanya. Matanya melebar, tangannya bergerak untuk menutup mulutnya sendiri agar tidak berteriak. Tapi, itu sia-sia.

"AAAAA!"

Elina tetap berteriak saat sosok dengan wajah hancur berlumuran darah itu mendekatkan dirinya. Bahkan darahnya sampai menetes di kasur.

Pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Erza berlari tergopoh-gopoh mendekati Elina. Menarik bahunya agar menatap ke arahnya.

"El, lo gak apa-apa?"

Elina menatap Erza takut, napasnya masih memburu. Ia masih terkejut, tak bisa mengucapkan sepatah kata.

"Sudah malam, jangan berisik!" Mama berseru ketus di ambang pintu. Menatap Elina mencemooh kemudian kembali ke kamarnya. Papa hanya melirik sekilas, ikut menyusul Mama setelahnya.

Erza merengkuh Elina. "Gue disini, jangan peduliin omongan Mama. Lo masih punya gue sama Milo, jangan khawatir."

Air mata Elina menetes. Kakaknya benar, dia masih punya Erza yang selalu ada disisinya dan juga Milo yang setia menemaninya.

Setelah merasa Elina sudah tenang, Erza melepas pelukannya. Ia membenarkan posisi duduknya agar nyaman. Tangannya mengelus kepala adiknya pelan.

"Kenapa?" tanyanya lirih.

Elina menatap Erza ragu. Setelah Erza mengangguk, Elina berucap, "Dia yang biasa di depan kamar gue masuk ke dalam! Dia deketin gue di kasur. Mukanya hancur, banyak darah yang menetes ke kasur."

"Bukannya dia gak berani masuk kalau ada Milo?"

"Milo ada di dalem, tapi dia tiba-tiba muncul gitu aja," jawab Elina panik.

"Kak, temenin gue malem ini. Gue takut." Elina meraih tangan Erza, menatap kakaknya penuh permohonan.

"Gue selalu gak bisa tidur sejak hari itu," lanjutnya berbisik.

Erza mengangguk. Melepaskan tangannya. Ia menata kasur Elina agar kembali rapi dan menepuk bantal setelahnya. "Tidur gih, gue disini, kok," ucapnya sambil tersenyum tipis.

"Apapun yang terjadi, seberat apapun masalah yang lo hadapi, gue akan selalu ada di samping lo. Karena lo, adik gue," lanjut Mirza masih dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya.

Dada Elina berdebar. Tak ada yang memperlakukannya seperti ini selain kakaknya. Ia merasa kehangatan menyelimuti hatinya.

Perempuan itu tersenyum, membaringkan tubuhnya dengan hati yang meringan. Erza duduk di sisi yang kosong dengan tangan yang menggenggam tangan adiknya.

Pikiran Erza menerawang. Kalau saat itu adiknya tidak pingsan di sekolah, akankah semuanya tetap seperti semula?



***




Aku buffer:(

Erzaaa kamu jadi kakakku aja gimana T_T

Wings ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang