27. Berhenti Berjuang
***
Bentar lagi tamat, nih.
Ada kesan pesan yang mau disampaikan??
***
Tak apa, aku sudah biasa. Pergi saja. Seperti orang-orang dulu yang mengaku sebagai teman untuk akan selalu ada. Seperti keluarga yang tak lagi memberikan kasih sayang. Seperti kamu yang akhirnya pergi meninggalkan.
--------
Elina melangkahkan kakinya ringan di koridor yang agak ramai pagi ini. Entah hanya perasaannya saja atau memang karena ujian terakhir semester akhir ganjil ini membuat banyak siswa memilih datang lebih pagi. Terbukti dengan banyaknya kursi di depan kelas yang terisi dengan anak-anak yang membuka bukunya lebar-lebar.
Elina menghembuskan napasnya pelan. Semakin mengencangkan pegangannya pada tali tas untuk menghilangkan kegugupannya. Dengan seringnya dia bertemu orang lain, semakin sering pula dirinya melihat sosok hantu yang terkadang mengikuti mereka.
Matanya bergerak menatap seseorang yang tampak tak asing sedang bermain bola di lapangan basket. Dia tampak keren dengan kaos putihnya yang bergaris biru. Elina sampai tak bisa mengalihkan pandangan darinya.
Sejenak Elina teringat saran Febrina dan Sellindra kemarin. Dia menghitung dalam hati kemudian menghembuskan napasnya pelan. Setelah dirasa cukup barulah Elina melangkahkan kakinya menuju Mirza yang sedang memegang bola di pinggir lapangan.
"Kak Mirza!"
Mirza menolehkan kepala. Matanya bertatapan dengan manik cokelat milik Elina. Ia mengerjap sebentar kemudian bertanya, "Kenapa, El?"
Elina menelan ludah gugup. Tangannya saling bertaut di belakang punggung. Ia membuka mulutnya, tapi tak ada satupun kata yang keluar. Kekuatannya seakan menghilang begitu saja.
"Mirza! Buruan lemparin bolanya!" teriak salah satu teman Mirza. Bukan Daniel yang seperti biasa selalu terlihat bersamanya.
Mirza mengangguk pada temannya, tapi tak kunjung melempar bola di tangan. Ia kembali menoleh pada Elina yang masih terdiam. "Kalau gak ada yang mau lo omongin, minggir ya. Gue mau lanjut main," katanya yang kemudian membalikkan badan, hendak menghampiri temannya yang lain.
"Kak Mirza, tunggu!"
Seruan Elina barusan mampu membuat Mirza kembali menoleh padanya. Mirza merasa kesal pada gadis berseragam krem di depannya ini, ia membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu untuk protes.
"Aku suka sama kakak!" Elina berkata dengan agak keras karena Mirza yang sudah berdiri agak jauh darinya. Mata Elina terpejam dengan kedua tangannya yang mencengkeram rok merah kotak-kotaknya dengan erat. Dia tak berani menatap Mirza yang mungkin saja kini sedang berbalik menatapnya.
Mirza hanya mengangkat satu alisnya. Dia tak mengatakan apapun. Otaknya masih mencerna perkataan gadis yang sedang menunduk di hadapannya sekarang.
Elina yang merasa tak ada respons dari Mirza jadi mendongak. Tertegun menatap Mirza yang seakan sedang mencemooh dirinya. Matanya bergerak memindai sekeliling. Banyak siswa yang jadi mendekat ke lapangan, ingin tahu lebih banyak.
Elina menghembuskan napasnya pelan. Dia sudah terlanjur menjadi bahan tontonan siswa lain. Kalau sudah begini, mencebur saja sekalian.
Elina kembali mengangkat kepalanya, menatap Mirza tepat. Tak memedulikan meski siswa lain memperhatikan mereka berdua. Ah, atau mungkin hanya memperhatikan Elina saja?
"Gue gak suka sama lo."
Hati Elina mencelus mendengarnya. Air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. Sedikit saja dia mengedipkan mata, maka genangan itu akan jatuh bebas. Dia tak menyangka, begini rasa sakitnya saat ditolak.
Elina mengulas sebuah senyum sampai matanya membentuk seperti bulan sabit. "Gak apa-apa, kok. Kakak bisa belajar suka sama aku pelan-pelan. Sementara aku akan terus berjuang di sisi Kakak sampai Kakak bisa menyukaiku."
Mirza ingin muntah mendengarnya, dia merasa mual dengan kalimat yang dilontarkan Elina untuknya. Bagaimana bisa dulu dia mendekati gadis yang katanya cantik dan kalem di angkatan bawahnya itu? Ingatkan dia untuk memukul kepala temannya Joshua, itu karena dialah yang memberi tahunya.
Mirza menatap Elina tajam. "Udah gue bilang kalau gue gak suka sama lo. Jadi berhenti ganggu gue, gue mau main."
"Oke, Kakak gak suka sama aku. Tapi, kenapa Kakak deketin aku waktu itu? Secara gak langsung Kakak ngasih harapan ke aku."
"Gue cuma penasaran. Temen gue pada ngomongin adik kelas yang katanya cantik seangkatan, jadi gue deketin lo," balas Mirza santai. Dia melemparkan bola yang masih dia pegang ke temannya tanpa melihat, "lagian cewek kayak lo gak pantas bersanding sama gue. Apa yang bakal dibicarain orang-orang kalau anak pertama Handira punya pacar yang biasa aja. Itu gak akan terjadi."
Elina mati-matian menahan agar air matanya tidak menetes. Dia kembali menyunggingkan senyumnya. Disaat hatinya sudah patah berkeping-keping, dia masih mampu tersenyum manis karena itu adalah keahliannya untuk menyembunyikan luka.
"Arisha udah berhenti ngikutin Kakak. Gak tau kalau hantu yang lain."
Elina menghembuskan napasnya pelan, sekaligus untuk mengatur emosinya saat ini. "Aku mau jadi sayap buat Kakak, biar aku bisa ngelindungi Kakak dari hantu-hantu lain. Kakak bisa pakai aku buat terbang dan menjauh dari mereka karena aku yang akan ngusir mereka buat Kakak, tapi Kakak gak mau, ya." Elina tertawa pelan, menertawakan dirinya sendiri.
Mirza hanya menatapnya dengan raut tak terbaca. Tanpa ada niatan untuk buka suara.
"Makasih, Kak. Mulai saat ini Kakak harus berjuang sendirian, karena aku gak akan jadi sayap lagi buat Kakak."
***
HUWAAAA POTEK AKU POTEK DAHLAH GA RELA T_T
Kamu punya masa depan yang cerah kok, El:( cuma kan harus susah" dulu baru bisa seneng:'(
KAMU SEDANG MEMBACA
Wings ✓
Novela Juvenil❝Aku suka sama Kakak!❞ Elina takut hantu. Tapi gara-gara pelajaran olahraga dia jadi bisa ngelihat mereka. Masalahnya Elina suka sama kakak kelas. Dan gara-gara kemampuannya itu dia jadi tahu fakta tentang kakak kelas yang disukainya. Ig : @quiriezt...