8. Penyusup!
***
Sudahkah kalian makan saat baca part ini??
--------
Elina melemparkan tasnya ke sembarang arah. Melepaskan semua kancing kemeja dan membuang seragamnya ke lantai. Tangannya sibuk mencari baju santai di dalam lemari.
Meong
Bibirnya tersenyum lebar saat Milo, kucing abu-abu miliknya mendekat. Menggesekkan kepalanya yang berbulu lebat itu pada kaki Elina.
Elina melangkah ke tengah ruangan, merebahkan dirinya di kasur dengan Milo yang menyusulnya dan meringkuk di sampingnya.
Meong
Elina sangat suka saat tangannya mengelus kepala Milo yang sangat halus itu. Milo selalu mengerti dirinya, terutama saat sosok itu berdiri di depan pintu kamarnya, tak berani masuk ke dalam entah apa alasannya.
"Milo, kak Erza udah balik belum?"
Milo mengeong, menggesekkan bulu lebatnya pada Elina yang jadi tertawa geli. "Iya, aku gak tanya lagi, kok.""Milo, temenin aku, ya? Jangan ninggalin aku," gumam Elina pelan. Matanya menerawang.
Saat hari dimana ia bisa melihat mereka, semuanya berubah. Papa dan Mama jadi bersikap tak acuh padanya. Adik kecilnya, Erika jadi menjauh darinya. Hanya kak Erza dan anak kelasnya saja yang mau menerimanya.
Meong
Dan jangan lupakan Milo yang selalu berada disisinya.
Elina menghembuskan napas berat. Dia pasti bisa menjalani harinya seperti sebelumnya.
"Elinaaa! Kakak pulang!"
Elina terlonjak, langsung melompat dan berlari menghampiri sang kakak yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Memeluknya erat.
"Lama banget! Untung tadi ada temen yang mau nebengin gue," gerutunya sebal.
Erza terkekeh, mengacak rambut panjang adiknya itu gemas. "Dosen gue bawel banget tadi."
Elina mengangkat bahunya, melangkah dan duduk di pinggiran kasur. Diikuti oleh Erza. Suasana kamar Elina serba pink, anak feminin seperti Elina sudah jangan ditanya, semuanya pasti akan serba pink.
"Kak," panggil Elina pelan.
"Apa?"
"Masa tadi gue liat dia berdiri di depan pintu kamar gue lagi, sih?"
Erza yang sedang tiduran dan memejamkan mata jadi membuka matanya lagi. Menatap Elina khawatir. "Dia ganggu lo, gak?"
Elina menggeleng. "Enggak, cuma ngeliatin gitu aja."
"Ya udah, jangan diladenin. Pastiin Milo selalu di kamar lo."
Elina menganggukkan kepalanya, menunjuk Milo yang tengah menjilat bulu kakinya di atas kasur. "Tapi risih, kak, gak bisa diusir, ya?"
"Mana gue tau, kan gue gak bisa ngeliat dia." Erza menoyor kepala Elina pelan. Kembali berbaring dan memejamkan mata.
"Iya, sih, bego banget gue nanya ke kakak gue yang bego," cibirnya kesal. Ikut merebahkan diri di samping kakaknya.
---------
Elina mengerjapkan matanya. Sesekali menguceknya, memastikan bahwa di depannya adalah kenyataan.
Sebuah kerajaan besar tepat berada di belakang halaman rumahnya. Itu sungguh menakjubkan!"Kakak?"
Elina menolehkan kepala, melihat dua gadis kembar yang masih kecil. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan kedua gadis kecil itu.
Tangannya diraih, Elina hanya melirik sekilas. Salah satu gadis itu menarik-narik tangannya, kembarannya yang lain menunjuk ke arah istana megah itu.
Elina bangkit, berjalan pelan mengikuti si gadis kembar. Ia melewati sebuah pasar, tapi Elina mengernyit, penduduk disana berbeda. Ia agak tersentak saat matanya bertatapan dengan salah satu penduduk yang mukanya hancur dengan darah yang hampir menutupi seluruh wajahnya.
"Kakak tenang aja, mereka semua baik, kok." Elina mengangguk, mencoba mempercayai ucapan gadis kecil itu. Lagi pula, anak kecil tidak akan berbohong, kan?
Semakin berjalan memasuki pasar, semakin mencurigakan penduduk disana. Bagaimana bisa ada penduduk yang bahkan mukanya sangat hancur? Dia juga sempat melihat seorang penjual yang berkaki kuda. Bukankah itu sangat aneh?
Elina gemetar, tapi tetap berjalan mengikuti si gadis kembar yang memegangi tangannya. Mungkin saja mereka ingin menunjukkan sesuatu, kan?
Keadaannya berubah. Banyak genangan darah di jalan yang ia lewati. Bau busuk mulai tercium, banyak lalat yang beterbangan. Elina tersentak, langkahnya menjadi kaku.
Si gadis kembar menoleh, menatap Elina dengan bingung.
"Kakak pulang aja, ya? Maaf gak bisa nganterin kalian," ucapnya dengan suara pelan. Tenggorokannya tercekat saat ada orang berpakaian zirah lengkap dengan pedang di tangan sedang menaiki kuda tanpa kepala berjalan ke arahnya.
Elina buru-buru melepaskan tautan tangannya dengan si gadis kembar yang bahkan ia tak tau namanya.
"Maaf, kakak harus pulang!" Elina berteriak, memacu langkahnya agar semakin cepat sebelum penjaga kerajaan itu berhasil menangkapnya.
Jalanan tanah yang ia lewati berubah merah dengan banyak darah yang menggenang. Bau anyir menyapa indra penciumannya. Penduduk di pasar tadi berdiri, menatapnya seakan dirinya adalah mangsa mereka.
Elina semakin ketakutan, berlari lebih kencang ke halaman belakang rumahnya tadi tanpa menoleh ke belakang.
"Sial!" umpatnya kesal saat mendapati jalan buntu di depannya.
"Kayaknya tadi jalannya cuma lurus doang, kenapa malah ketemu jalan buntu?"
Elina membalikkan badannya saat merasakan hawa tidak enak dari belakang. Matanya membelalak ketika penjaga itu berhenti di depannya. Tatapan Elina turun ke arah kuda yang sedang ditunggangi, darah terus menetes dari kepalanya yang putus itu. Lalat dan ulat mengerubunginya.
Elina menggelengkan kepalanya. Perutnya terasa mual karena melihat darah apalagi saat hidungnya mencium bau amis, tapi itu terganti dengan rasa terkejut saat si penjaga mengarahkan pedang padanya.
"Penyusup!"
***
Gimana? Udah mulai masuk ke konflik, nih (∂ω∂)
KAMU SEDANG MEMBACA
Wings ✓
Teen Fiction❝Aku suka sama Kakak!❞ Elina takut hantu. Tapi gara-gara pelajaran olahraga dia jadi bisa ngelihat mereka. Masalahnya Elina suka sama kakak kelas. Dan gara-gara kemampuannya itu dia jadi tahu fakta tentang kakak kelas yang disukainya. Ig : @quiriezt...