17. Misi Pertama

792 98 29
                                    

17. Misi Pertama

***



"Elina."

Elina memejamkan matanya, tak mau membukanya barang sedikitpun. Tangannya menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya karena takut.

"Elina."

Tak tahan dengan suara yang terus memanggil namanya itu, Elina membuka selimutnya kasar. "Apa?" tanyanya ketus.

Kali ini dia sudah merasa baik-baik saja begitu melihat sosok yang selalu berdiri di depan kamarnya itu setelah dia menampakkan dirinya di perpustakaan.

Kalau dilihat-lihat hantu ini mirip sekali dengan hantu yang mengikuti Mirza. Apa jangan-jangan mereka kembar? Ataukah mereka berdua adalah gadis kembar yang selalu muncul dalam mimpinya?

"Maaf aku mengejutkanmu tadi. Aku merasa butuh bantuanmu, tapi kau tak pernah melirikku." Hantu perempuan itu mengubah wajahnya menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Tak ada darah yang menetes, begitu pula dengan belatung yang menggerogoti matanya saat itu. Dia tampak normal dengan wujud manusianya.

Elina mengangkat satu alisnya, menatap heran hantu perempuan di depannya. "Nama lo siapa? Gak mungkin kalau gue mau bantuin orang yang gak gue kenal. Eh, iya lupa, lo kan bukan manusia."

Hantu itu menunduk sebentar, tapi kemudian kembali memandang Elina dengan senyum tipis di wajahnya. "Aku Arisha."

Elina mengangguk-angguk. Meletakkan tangannya di dagu dan menatap Arisha serius. "Mau bantuan apa? Jangan yang mahal-mahal, gue gak punya duit soalnya."

"Aku mengikuti Mirza karena dia punya sesuatu yang kubutuhkan di rumahnya."

"Apa? Jangan bilang lo nyuruh gue nyuri?!" Elina melotot pada Arisha.

Arisha menggeleng, matanya memandang keadaan luar melalui jendela kamar yang terbuka lebar. "Aku hanya ingin kalungku kembali," lirihnya.

"Mamanya memiliki toko perhiasan yang besar. Aku bekerja disana, dulu. Sebelum dipecat karena kalung pemberian seseorang yang dia kira aku mencurinya dari etalase khusus."

Elina mengambil bantal, menopangkan dagunya disana sambil setia mendengarkan setiap penjelasan Arisha.

"Aku tak ingat lagi kejadian setelahnya. Karena yang kuingat hanyalah kalung istimewa yang dia berikan saat ulang tahunku. Sekaligus Mirza, laki-laki yang aku sukai."

Arisha mendongakkan kepala, menatap Elina serius setelah sebelumnya rasanya menunjukkan kesedihan yang mendalam. "Aku ingin kau membantuku, mencari kalungku dan menguburnya di makamku."

"Tapi–" Elina menggantungkan ucapannya. Terdiam sebentar sementara otaknya sedang berpikir keras, "gimana gue bisa ngambil kalung itu?"

"Dan lagi, masa gue mau bantuin saingan gue, sih?" Elina melipat tangannya di depan dada, menatap Arisha dengan mata menyipit.

"Aku tidak akan mengganggumu lagi karena aku akan segera pergi setelah kalung ku kembali. Lagipula kamu dekat dengan Mirza, kan? Buatlah dia mengajakmu ke rumahnya atau ke toko mamanya. Kalung itu, liontinnya sangat indah. Berlapis emas yang terbuat dari kaca berwarna biru muda. Ada daunnya yang berlapis emas, dengan ukiran huruf A sebagai inisial namaku. Kamu pasti bisa menemukannya."

Elina mendengus kesal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Elina mendengus kesal. Ia bahkan tak tau apakah Mirza mau mengajaknya ke rumahnya atau tidak. Mereka tidak sedekat itu meski Elina mendekatinya.

Elina menjentikkan jarinya. Senyumnya merekah, menatap hantu itu dengan binar di matanya. "Apa nama tokonya?"

"Handira's Jewelry," jawab Arisha singkat.

"Oke gue bakal bantuin lo!" Elina memukul dadanya pelan. Ia merasa bersemangat kali ini karena matanya akan melihat benda-benda berkilauan.

"Yang pertama harus kita lakukan adalah menyusun rencana."

----------

"Beneran ini tempatnya, By?" Elina menatap Ruby ragu. Toko perhiasan di depannya sangatlah mewah. Apa benar keluarga Handira sekaya itu?

Ruby mengangguk. Melangkah masuk tanpa memedulikan Elina yang masih terbengong di luar.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Seorang pegawai toko menghampiri mereka.

"Aku mau yang VIP," ucap Ruby.

Pegawai toko itu mengernyitkan alis, merasa ragu.

Ruby menoleh, menatap pegawai itu yang tak juga menunjukkan jalan padanya. "Kenapa?"

"T-tapi–"

"Oh, kamu gak mau melayani tamu VIP?"

"Ada apa ini?" seorang wanita paruh baya menyeruak. Menatap pegawainya bingung. Ia menutup mulutnya saat matanya bertatapan dengan mata cokelat milik Ruby.

"Loh, kamu Ruby?" tanyanya terkejut.
Ruby mengangguk santai. Sementara Elina di sampingnya kebingungan.

"Beneran Ruby Achazia itu, kan?"

Ruby kembali mengangguk. Wanita glamor penuh perhiasan itu lantas meraih tangan Ruby dan menggandengnya. Dia tersenyum lebar. "Aku nyonya Handira, senang sekali kamu datang ke toko perhiasan kami."

"Aku mau kalung," ucap Ruby pelan.

Nyonya Handira mengangguk bersemangat. Dia berjalan menuju tempat tertutup khusus untuk pelanggan VIP.

"Kami punya banyak yang kamu butuhkan disini."

"Ada kalung yang aku mau?" tanya Ruby. Perempuan itu sedikit melirik pada Elina untuk tetap memastikan bahwa temannya itu berada di sampingnya.

"Tentu saja, sebutkan bagaimana kalung yang kamu mau," balas nyonya Handira senang.

"Kalung aquamarine yang ada daun emasnya dengan ukiran huruf A."

Nyonya Handira mengibaskan tangannya sambil tertawa pelan. "Kamu mau kalung itu? Sayang sekali, ya."

"Kenapa?" tanya Ruby.

"Kami tidak menjual kalung seperti itu. Kalau kamu mau, aku bisa menunjukkan kalung lain yang cocok untukmu."

***



Gabisa gambar kalung jadi aku kasih foto real nya aja T_T

Wings ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang