10. Terungkap?

1K 141 60
                                    

10. Terungkap?



***

Pagi semuanya. Jangan lupa makan ya karena baca juga butuh tenaga (*∩ω∩)


--------


Setelah mengantar Erika, adik bungsu dari tiga bersaudara, Ezra mengantar Elina sebagai ganti karena kemarin tak menjemputnya. Padahal Elina bisa berangkat bareng Sellindra teman sekelasnya yang kebetulan satu perumahan dengannya. Jarak rumahnya juga tak begitu jauh, hanya berjarak 6 rumah saja.

"Kak Ezra. Kalo kakak gak bisa jemput gue jangan bilang bisa jemput. Dasar tukang php!" Elina menggembungkan pipinya, merajuk. Ezra mengacak rambut panjang adik kesayangannya itu pelan. Lalu tersenyum.

"Iya maaf. Kemarin dosen gue bawel banget, kan udah bilang juga pas di rumah. Nanti gue jemput, kok, kalo dosennya gak bawel kayak kemarin."

Elina mencibir pelan. Lantas melambaikan tangan saat Ezra melajukan mobilnya.

Menatap tulisan Smart High School besar yang tertera di depan lobi. Elina mengeratkan pegangannya pada tali tas dan melangkah masuk dengan semangat. Meski dalam hatinya sangat takut kalau tiba-tiba ada hantu seram yang muncul.

"Pagi Elina!" Feri menghampiri Elina di depan kelas dengan senyum cerah di wajahnya.

Elina menoleh sekilas. Kepalanya bergerak ke kanan ke kiri untuk memastikan apakah ada orang atau tidak. Berhubung masih sepi, Elina tersenyum pada hantu kecil itu. "Pagi juga, Fer," balasnya lalu melangkah memasuki kelas.

Sepi. Itulah yang Elina rasakan saat memasuki kelas. Anak-anak pasti akan datang lima menit sebelum bel bahkan bisa lebih. Teringat sesuatu, Elina mendongak perlahan. Keningnya mengerut, hantu seram yang pendiam itu tak ada di kelasnya.

Elina menatap jam dinding yang tengah menunjukkan pukul 6.10. Datang sepagi ini sangat tidak mengenakkan. Para hantu yang menyadarinya kalau dia bisa melihat mereka pasti akan mencoba mengganggunya, seperti yang dikatakan Meisie sebelumnya.

Elina mengeluarkan laptop dan headset. Berniat menonton drama korea karena semalam ia telah menamatkan sebuah film yang sangat menarik. Juga untuk mengusir kebosanan dan malas untuk menunggu bel masuk berbunyi.

Feri datang menghampiri Elina dengan raut wajah sedih sebelum Elina memakai headset di telinganya. Ah iya, Elina tau namanya adalah Feri dari Meisie.

"Kenapa?" Elina bertanya dengan alis terangkat satu.

"Aku ingin berteman denganmu," jawab Feri pelan, "aku mau main."

Elina mengernyit. Kelihatannya Feri adalah hantu kecil yang baik. Meski ia selalu berisik saat di dalam kelas tapi dia tak menganggu anak kelasnya. Tapi, Elina sudah punya dua gadis kembar yang muncul tadi pagi di kamarnya.

"Aku kesepian." Feri mengucapkannya dengan nada sedih. Elina menghela napas lelah. Kalau sudah begini, jiwa keibuannya meronta.

Elina kembali menghembuskan napas berat lalu menatapnya. "Bukankah kita sudah berteman? Kau temannya Meisie, kan? Meisie adalah temanku, jadi temannya Meisie juga temanku."

Hantu kecil itu tersenyum lebar.

"Elina! Gue ada–"

Suara itu. Elina mengenalnya. Elina segera menoleh dan membeku begitu saja. Astaga. Kenapa dia datang menemuinya sepagi ini?

Mirza berdiri mematung di ambang pintu, rautnya terlihat kaget. Elina berdeham pelan sambil mencoba memasang ekspresi seperti biasa.

"Ada apa, Kak?"

Mirza tersadar dari kekagetannya. Ia tersenyum tipis lalu duduk di depan Elina tanpa persetujuan perempuan itu. "Pagi."

Elina tersenyum, membalas sapaan Mirza dengan ceria. Tangannya bergerak melepas headset dan menutup laptopnya.

"Nonton apaan, sih? Kok langsung dimatiin aja?" Mirza agak mencondongkan tubuhnya, melihat layar laptop lebih dekat yang telah berubah menjadi hitam sepenuhnya.

Elina terkekeh pelan. "Gak, ah. Kakak gak boleh ikutan nonton."

Mirza memasang ekspresi seakan terluka, bahkan tangannya menyentuh dada dengan napas yang dibuat putus-putus. "Lo bikin hati gue terluka."

Elina jadi mengeraskan tawanya. "Kak, kenapa Kakak gak main film aja, sih? Lumayan loh, akting Kakak barusan bagus."

"Gak, ah, duit gue udah banyak jadi gak perlu begituan."

"Sombong banget, ya," cibir Elina.

"Harus dong, anak pertama dari keluarga Handira harus punya sifat sombong dalam dirinya," balas Mirza semakin menyombongkan diri.

Ngomong-ngomong, Mirza merupakan anak pertama dari keluarga Handira yang memiliki bisnis dimana-mana. Elina sudah mencarinya kemarin berkat Sellindra yang memberitahunya lebih dulu.

"Kantin, yuk? Laper gue," celetuk Mirza tiba-tiba. Cowok itu menampakkan cengirannya saat Elina menatapnya bingung.

"Gue bayarin, deh, makanan khusus buat anak vip," lanjut Mirza.

Elina terdiam sebentar. Ini masih pagi, otomatis banyak hantu yang berkeliaran di kantin. Kalau dia menyetujui ajakan Mirza, bisa-bisa kakak kelasnya itu akan tau kalau ada yang aneh dengan dirinya. Tapi, akan sangat disayangkan kalau tawaran itu ditolak.

Setelah lama berdebat dengan dirinya sendiri, Elina menganggukan kepala. Kalau dipikir-pikir lagi, kesempatan ini tidak datang dua kali. Urusan hantu itu belakangan selama ada Mirza.

Mirza tersenyum puas. Berjalan lebih dulu untuk keluar, menunggu Elina yang masih harus membereskan laptopnya.

Banyak siswa yang menyapa Mirza yang dibalas senyuman ramah oleh cowok itu. Sementara Elina menggigit bibirnya, dia merasa menjadi kecil saat berjalan bersisian dengan Mirza.

Tak ada yang menyapa Elina. Semua sapaan dan tatapan kagum hanya tertuju pada Mirza yang berjalan di sampingnya. Elina tertawa dalam hati, memangnya dia siapa sampai siswa lain harus menyapanya? Kekuasaan di sekolah dia bahkan tak punya, meski menjadi anggota OSIS.

"Aduh!" Elina mendongak saat kepalanya menabrak sesuatu yang keras. Matanya memandang bingung kakak kelas di depannya.

Mirza hanya meliriknya.

Elina jadi mengernyit. Tak biasanya Mirza jadi dingin seperti ini, padahal tadi mereka berdua baik-baik saja.

"Kenapa, Kak? Katanya mau ke kantin, tapi kok berhenti disini?"

"Elina, sebenernya lo ini siapa?" Mirza menatap Elina lekat-lekat, menuntut jawaban dari gadis yang lebih pendek darinya itu.

"Aku?" Elina bertanya bingung. Mirza menganggukkan kepala, menunggu Elina segera menjawab.

Elina terkekeh pelan lalu mengulurkan tangannya ke arah Mirza. "Kak Mirza amnesia? Aku Elina."

Mirza maju selangkah, menatap Elina tepat. Kali ini dia tak terlihat main-main.

"Jujur aja. Lo bisa ngeliat hantu, kan?"

***

Wings ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang