26. Akhirnya Pulang

734 91 33
                                    

26. Akhirnya Pulang


***

Happy New Year!

Apa harapan kalian di 2021 ini??


***



Kenapa kamu suka dikejar? Udah tahu aku anaknya mageran, sekali dilepas ya udah bodo amat gak mau peduli lagi.

-------

Arisha masih berdiam di bawah pohon rindang di dekat pantai itu. Tatapannya kosong ke depan. Kemudian ia mengerjapkan matanya pelan, bibirnya melengkung melukis sebuah senyum. Ia menoleh pada sosok pemuda jangkung yang berdiri tak jauh dari tempatnya, sedang bersembunyi dibalik pohon rindang. Kalau pemuda itu tak kesini, mana mungkin Arisha akan berada disini.

Arisha melayang menuju Elina yang juga masih diam di posisinya semula. Memeluk perempuan yang telah membantunya itu meski dirinya hanya menembusnya.

Elina merasa bulu di tengkuknya berdiri. Dia merasakan dingin di tubuhnya.

"Ini aku, Arisha. Terima kasih sudah mau membantuku, Elina. Katakan pada Mirza bahwa aku sudah pulang, tak lagi mengikutinya. Bilang pada Daniel kalau aku sudah bahagia sekarang."

Elina menganggukkan kepalanya. Dia berputar hanya untuk memandang wajah Arisha untuk terakhir kalinya. Bibirnya ikut melengkung ke atas saat Arisha perlahan menghilang.

Daniel sudah kembali ke bibir pantai, menepuk bahu Elina karena perempuan itu terlihat melamun.

Elina menoleh terkejut. Dia mengelus dadanya pelan, untung saja dia tidak latah kaget barusan.

"Udah selesai, kan? Arisha dimana?" tanya Daniel. Pemuda bergigi kelinci itu mengedarkan pandangannya, mencari-cari sosok Arisha yang masih memenuhi pikirannya.

"Arisha udah pulang. Dia titip pesan buat kak Daniel, Arisha udah bahagia sekarang," Elina tersenyum, menatap kejauhan dengan lega, "bilangin juga sama kak Mirza, kalau Arisha udah gak ngikutin dia lagi."

Daniel mengernyitkan keningnya, ingin memprotes tapi dia mengurungkan niatnya. Harusnya Arisha berpamitan padanya, bukan malah pamitan pada adik kelasnya yang bahkan kenal dia saja tidak.

Elina menolehkan kepala. "Jadi, bisa kita pulang sekarang?"

***

Elina meminta pada Daniel untuk mengantarnya ke Banana Cafe. Pemuda bergigi kelinci itu ingin ikut masuk, tapi Elina menghadangnya. Langsung menyuruh Daniel untuk pulang karena Elina tak ingin diganggu. Padahal, kan, Daniel bisa saja memilih meja lain. Daripada mereka adu mulut di depan cafe yang agak ramai itu, Daniel mengalah. Memilih pulang dengan mobil hitamnya.

Elina mengetukkan jarinya di atas meja dengan bosan. Matanya bergerak liar melihat siapapun yang masuk saat lonceng di pintu berbunyi ketika pintu dibuka atau ditutup.

Pesanannya datang. Segelas susu cokelat dengan croissant favoritnya. Ia mengucapkan terima kasih sebelum menyantapnya sambil menunggu temannya datang.

 Ia mengucapkan terima kasih sebelum menyantapnya sambil menunggu temannya datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebelumnya dia sudah memberikan pesan chat di grup khusus perempuan kelasnya. Terserah siapa yang akan datang nanti, karena yang paling utama hanyalah Meisie yang harus hadir. Dia sangat malas untuk mengirimkan pesan pribadi pada cewek yang suka dengan macan itu. Kalau ada grup, ngapain harus chat pribadi?

Lonceng kembali berbunyi. Kali ini Elina tersenyum lebar begitu melihat siapa yang masuk. Dia melambaikan tangannya dengan semangat.

"Tumben banget lo semangat gini," cibir Sellindra saat mendudukkan dirinya di sebuah kursi kayu. Tentu saja dia akan datang, karena Sellindra tidak suka berdiam diri di rumah terus. Jadi jangan heran kalau dia sering hangout kemanapun meski sendirian.

"Gue tuh mau menikmati weekend tapi lo kayak panik gitu di chat, makanya gue kesini, eh, taunya lo malah berbunga-bunga kayaknya," sahut Dea dengan muka masam. Dia langsung meletakkan tas totebag miliknya ke atas meja dan duduk bersandar dengan kesal.

"Asik, nih, karena lo gue punya alasan keluar dari rumah yang bikin gue sesak." Febrina menyahut dengan santai. Perempuan yang memiliki tahi lalat di dekat bibir itu memang memiliki masalah keluarga yang seperti tak ada ujungnya. Elina bahkan tak pernah tahu dimana rumahnya.

"Sorry, gue telat," Meisie langsung mengambil duduk di samping Sellindra. Karena itu satu-satunya kursi panjang di meja mereka, "biasa Felix bikin ban motor gue kempis lagi."

Elina menatap Meisie dengan tatapan horor. "Mes, gue udah nolong hantu," katanya mengadu.

Meisie hanya mengangkat alis menatapnya. "Terus?"

"Ya, terus gue harus gimana, dong? Mereka gak bakal gangguin gue lagi, kan?" tanya Elina panik. Pasalnya dia sangat takut untuk berhubungan dengan makhluk tak terlihat. Cukup si kembar dan si kecil Feri saja yang masuk ke kehidupannya. Dia tak mau terlibat terlalu jauh lagi.

"Tergantung aja, sih, kalau lo gak bikin masalah, mereka juga gak bakal ganggu, kok."

Elina mengangguk-angguk mengerti. Menyesap pelan susu cokelatnya yang tak lagi dingin karena merasa haus. Kemudian menatap temannya satu persatu.

"Terus masalah gue sama kak Mirza, gimana?"

Dea melotot tajam pada Elina. "Lah, belum selesai?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Elina.

"Ya, pepet terus dong," sahut Febrina. Perempuan yang memiliki tahi lalat di dekat bibir itu sedang membersihkan kuteks di kukunya.

Elina mengacak rambutnya pelan. Kemudian meletakkan kepalanya di atas meja dengan tak bersemangat. "Masa gue yang gerak, sih? Males banget gue harus ngejar dia. Tapi, sayang juga kalau keduluan cewek lain."

Sellindra menepuk pelan bahunya, membuat Elina menoleh padanya. "Inget kata Kang parkir, El. Terus, terus! Iya terus, eh, belok! Belok!"

Elina mengernyitkan kening bingung. "Terus apa hubungannya sama gue?"

"Ya elah, gini aja gak paham," Sellindra menoyor kepala Elina pelan, menatapnya dengan serius, "ya, kalo dia masih jomblo gas terus aja, kalau udah ada yang punya, kan, temennya cakep, tuh." Sellindra mengedipkan sebelah matanya menggoda.



***

Wings ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang