Kebahagiaan sesaat itu seketika tergantikan dengan hening yang tidak kunjung hilang.
Hari ini adalah hari sabtu, akhir pekan bagi para pekerja, tidak terkecuali pekerja kantoran. Itu artinya, Ayah Jingga pun ada di rumah karena tidak bekerja. Tentu, tidak masalah, sebenarnya. Tetapi, hari ini pengecualian karena tiba-tiba Ayah menyuruh Jingga mengerjakan sepuluh soal matematika yang ia berikan dengan diawasi beliau. Kata beliau, sepuluh soal itu adalah soal-soal SBMPTN tahun-tahun lalu yang ia dapatkan dari internet. Dari hasil-hasil SBMPTNnya yang lalu, skor terendah selalu jatuh pada pengetahuan umum, yang di dalamnya juga ada pelajaran matematika. Jadi, Ayah selalu menekankan Jingga untuk fokus dengan matematika, walau sebenarnya ia pun tetap harus belajar tiap pelajaran.
Bagi Jingga, matematika tidak terlalu memusingkan untuk dirinya. Jika ia disuruh memilih antara biologi dan matematika, tentunya ia akan memilih matematika. Namun, ada satu materi dari matematika yang tidak Jingga kuasai, bahkan sedikitpun, yaitu materi dimensi tiga. Materi dimensi tiga adalah salah satu materi dari matematika yang mencari jarak titik ke garis, jarak titik ke bidang, dan sebagainya dalam suatu bangun datar tiga dimensi, seperti kubus dan balok. Jingga kesulitan merefleksikan bangun dimensi tiga di saat bangun tersebut digambar di bidang dua dimensi alias kertas.
Jingga merutuk di dalam hati ketika melihat ada tiga soal di antara soal-soal tersebut yang merupakan materi dimensi tiga. Ia hendak rileks terlebih dahulu karena otaknya terasa ingin pecah, tetapi Ayah yang duduk di kasur dengan tatapan membeku pada dirinya membuatnya urung. Baru kali ini Ayah mengawasinya seperti ini. Biasanya Ayah membiarkannya belajar dan melihat hasil belajar Jingga melalui tryout-tryout yang ia ikuti. Maka dari itu, Jingga sangat gugup karena ini adalah pertama kalinya.
"Sudah tiga puluh menit. Belum selesai?" tanya Ayah tegas.
"Tiga soal lagi, Yah."
"Kamu udah tahu, kan maksimal tiga menit per soal ngerjainnya?"
Jingga menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tahu benar apa maksud Ayahnya. Ia diberikan waktu 90 menit untuk mengerjakan soal-soal SBMPTN bagian tes kompetensi akademik, yang mengandung matematika saintek, fisika, kimia, dan biologi. Menurut perkiraan dari pakar SBMPTN yang berpengalaman bertahun-tahun, membutuhkan maksimal 3 menit per soal untuk menyelesaikannya agar semua soal dapat terjawab. Selain menguji pengetahuan, tes SBMPTN pun juga bertarung melawan waktu.
Jingga mengerjakan sebisanya untuk 3 soal itu dan memberikan kertas jawabannya ke Ayah. Ayah membuka ponselnya, melihat kunci jawaban soal-soal tersebut. Jantung Jingga berdebar-debar tak karuan, menunggu respon Ayah. Beberapa menit kemudian, Ayah menurunkan tangannya, menarik dan mengembuskan napas dengan dalam, membuat Jingga entah kenapa lega. Sepertinya, jawabannya lumayan juga.
"Kenapa salah semua yang dimensi tiga?"
Jawaban yang lumayan itu telah sirna.
Jingga menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah ayahnya yang sangat tajam menatap dirinya. Ia menggigit bibir bawahnya, ingin memberi perlawanan, tetapi urung karena ia merasa sesak.
"Kata kamu sudah bisa semua materinya?"
Mendengar nada suara Ayah, sebenarnya beliau tidak membentak Jingga. Ayah mengucapkannya dengan nada suara biasa saja, tetapi raut wajah Ayah yang tidak ada rasa suka yang menatap dirinya, yang membuat Jingga ketakutan.
"Jingga, jawab!"
"Jingga nggak bisa dimensi tiga, Yah." ucap Jingga dengan cepat.
Jingga tidak tahu dengan raut wajah Ayah karena keheningan menyelimuti ruangan ini.
"Kenapa kamu nggak jujur dari awal? Bahkan satu tahun adalah waktu yang lama untuk menyadari kekuranganmu."
Jingga memainkan jemarinya, masih tidak menatap Ayahnya. Terdengar suara Ayah yang beranjak dari kasur, hendak pergi.
"Ayah akan menyewakan tutor untukmu. Jadi, belajarlah lebih giat."
Mendengar kata tutor, membuat Jingga mengangkat kepalanya. "Tutor?"
"Dua tahun adalah waktu yang cukup untuk gagal. Jika tahun ini kamu gagal lagi, maka semakin banyak lagi waktu yang terbuang percuma."
Ayah meninggalkan kamar Jingga dengan meninggalkan kertas jawaban Jingga. Gadis itu menyenderkan punggungnya sembari memijit pelan dahinya. Dimensi tiga telah menguras otaknya, tetapi yang memicu ledakan di sana adalah kalimat ayah mengenai tutor. Jingga pernah les untuk SBMPTN ketika ia masih kelas tiga SMA, tetapi ia tidak melanjutkannya karena Jingga tidak suka dengan gaya belajar tempat les yang cenderung mengikuti jadwal. Jingga suka cara belajar dengan waktu yang fleksibel. Maka dari itu, ketika Jingga ingin belajar sendiri, orang tua Jingga menurutinya. Tetapi, sepertinya Ayah tidak akan membiarkannya kali ini.
Jingga menghela napas. Sepertinya, hari-hari yang lebih sibuk di kehidupannya akan segera dimulai.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Fiksi RemajaJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...