Jingga termenung hingga tersadar ketika seseorang menghampirinya, duduk dihadapannya. Ia melirik ke sekelilingnya. Kosong. Hanya ada mereka berdua. Berapa lama sudah ia berada di tempat ini? Kenapa waktu begitu cepat berlalu?
"Sudah sejam yang lalu, toko ini tutup." ujarnya ramah.
Jingga menyipitkan kedua matanya, melihat sosok yang terasa familier. Tunggu. Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah, lalu menutup mulutnya, tidak percaya. Coffeeshop ini, kenapa ia berada di sini? Dan selarut ini? Jingga melirik mejanya, kosong melompong. Apakah ia tidak memesan apapun sedaritadi?
Kenapa pula harus coffeeshop ini?
Dan kenapa ia bertemu lagi dengan pelayan itu?
Tiba-tiba, Jingga teringat kejadian tadi. Ketika Bintang datang ke rumahnya dan ia pergi dari rumah. Dia terlihat tidak memiliki arah tujuan, namun ia memaksakan diri untuk pergi ke suatu tempat. Jingga pun tidak tahu, mengapa ia harus pergi ke coffeeshop ini dibanding ribuan tempat lainnya yang lebih umum? Seperti taman, danau, jembatan, dan lainnya. Kenapa harus coffeeshop ini, tempat dimana semuanya terkuak?
"Kamu sudah berada di sini sejak pukul empat sore dan sekarang sudah pukul sebelas malam." ucapnya, seakan-akan tahu apa yang akan ditanyakan Jingga.
"Aku tidak memesan apa-apa?" tanya Jingga bingung.
Pelayan itu mengangguk. "Begitu tiba dan duduk, kamu segera membongkar tasmu dan menggambar sesuatu di bukumu. Menjelang maghrib, kamu memasukkan barang-barangmu ke tas dan kukira, kamu hendak pulang. Tetapi, kamu duduk dan melamun hingga sekarang."
"Maaf kalau mengganggu karena malam semakin larut." sambungnya.
Jingga menggerutu pada dirinya sendiri. Laki-laki itu benar. Tiba-tiba saja, ia ingat kalau ia masuk ke sebuah toko, lalu menggambar sketsa abstrak. Begitu lelah, Jingga membereskan barang-barangnya dan hendak pulang. Namun, ia ragu untuk pulang. Ia tidak ingin pulang. Sungguh.
Tapi, situasi ini sangat memalukan.
"Apakah kamu memiliki rokok?" tanya Jingga tiba-tiba.
Laki-laki itu heran. "Rokok? Aku nggak merokok."
"Oh."
"Kamu merokok?"
Jingga terdiam mendengarnya. Bukan pecandu, tetapi Jingga terkadang merokok bila dadanya terasa sangat sesak. Terkadang, melukis pun tidak mampu menyembuhkan beban di dadanya, sehingga ia memilih rokok untuk melampiaskannya. Asap dari rokok yang ditelan dan dihirupnya, mampu mengangkat hal-hal yang memberatkan dirinya. Ajaib memang. Awal mencoba, Jingga memang terbatuk-batuk karena abunya yang terkadang tertelan. Tetapi, lama kelamaan, ia terbiasa.
Tentu saja, hanya dirinya yang tahu. Kalau Angkasa tahu, sudahlah, pria itu pasti akan memilih tinggal di rumah dan harus bolak-balik Jatinangor-Bandung.
"Mungkin, kamu merasa rokok adalah obat untuk beban dirimu," sahut pelayan tersebut, ketika melihat Jingga yang terdiam. "Tetapi, hanya untuk sementara. Karena sesungguhnya, obat tersebut ada pada dirimu sendiri dan orang lain yang bisa membantumu berdiri di tengah-tengah kepahitan.
Jingga menatap pelayan itu dengan tatapan selidik. "Kenapa kamu terasa seperti mengetahui segalanya?"
"Siapa? Aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion dan Angin
Teen FictionJingga percaya adanya keajaiban setelah bertemu Sekala, seorang pelayan coffeeshop yang menyukai puisi. Bersama Sekala, membuat Jingga tahu, bahwa walaupun banyak yang meremehkan mimpinya, Jingga bisa menggapainya dengan hanya Sekala di sisinya. La...