Chapter 06

18 2 0
                                    

Langit sudah mulai gelap dan menampilkan bintang-bintang yang bertebaran, yang membuat langit malam terlihat indah. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sudah dua hari ia tidak pulang ke rumah karena sibuk mengurus coffeeshop milik sepupu temannya yang baru saja buka. Ia pun pulang karena ingin melihat kondisi adiknya. Mana tahu, gadis itu sakit dan tidak mengatakannya. Tetapi, ia tidak yakin kalau adiknya itu akan seperti itu.

                Adiknya itu terlalu blak-blakkan.

                Ia terduduk, ingin ke kamar adiknya, tetapi gadis itu telah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada dan wajah yang diselimuti sheetmask, salah satu perawatan wajah yang digemarinya. Ia bahkan tidak habis pikir ketika melihat berpuluh-puluh sheetmask di meja rias gadis itu. Apakah itu stok untuk bertahun-tahun? Benda itu tidak akan punah dalam waktu yang dekat juga. Ketika ditanya, gadis itu hanya bilang, bukan urusan kamu.

                "Kenapa?" tanyanya, risih dilihat gadis itu terus-menerus.

                Gadis itu menyipitkan kedua matanya, seperti tengah meneliti setiap sudut pada dirinya.

                "Semakin diliat-liat, Kak Sekala sangat jelek!"

                Kurang ajar sekali ini anak. Untung saja adik sendiri.

                Sekala, nama pria itu, menatap adiknya dengan datar. "Topeng itu membantu wajahmu."

                "Apa?!"

                Buru-buru Sekala mengalihkan pembicaraan. "Kamu mau ngomong apa, Cha? Ada pembayaran pos kamling lagi?"

                Sekala sangat hapal gerak-gerik Acha karena dulu, hampir 24 jam hidupnya dihabiskan bersama makhluk aneh ini. Saat ini, Acha terlihat ingin memberitahunya sesuatu.

                "Bukan. Tapi, kita lagi jadi topik hangat—bukan kita, sih. Kamu aja, Kak." ujar Acha dengan ekspresi mendukung, seperti ibu-ibu yang bersemangat untuk menggosip.

                "Kenapa lagi?"

                "Katanya, Kakak nggak pernah ikut jaga pos kamling. Terus mereka ngasihani kita gitu, deh karena tinggal berdua."

                Kasus ini bukanlah hal yang baru lagi bagi Sekala dan Acha. Sejak mereka pindah ke kawasan ini, tidak jarang mereka menjadi bahan pembicaraan warga sekitar. Sebabnya adalah karena mereka hanya tinggal berdua, tanpa orang tua. Mereka kerap kali mempertanyakan pekerjaan Sekala karena pria itu jarang pulang dan meninggalkan Acha sendirian di rumah. Mereka suka sekali membahas bagaimana Sekala menghidupi adiknya yang masih SMA itu. Acha sering mendengarnya, baik dengan telinganya sendiri atau diberitahu Monic, teman sekolahnya sekaligus tetangganya. Sekala juga sering mendengarnya dari Acha. Tetapi, mereka berdua tidak peduli, toh mereka hanya orang-orang yang kurang kerjaan, yang memiliki waktu untuk mengurusi hidup orang lain.

                Dulunya, mereka tinggal di Lembang bersama kedua orang tua mereka. Namun, karena kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tua mereka, Sekala dan Acha terpaksa pindah karena rumah mereka di Lembang adalah warisan kakek dan nenek mereka dan akan dijual dan dibagi-bagikan kepada sanak keluarga lainnya. Sekala memilih untuk tinggal di Bandung karena tentunya, lowongan pekerjaan banyak. Mereka menyewa sebuah rumah dengan warisan kedua orang tua mereka dan berusaha untuk melanjutkan hidup.

                Sekala mengerjakan apapun yang bisa digaji dan halal. Ia pernah bekerja di bengkel, jasa antar air, supir taksi, dan baru-baru ini, ia menjadi pelayan di sebuah coffeeshop milik Evan, sepupu temannya, Genta. Gaji Sekala pun cukup untuk membiayai kehidupan sehari-harinya dan Acha. Bahkan, semua itu cukup untuk memenuhi kebutuhan skincare Acha.

                Jadi, omongan warga tersebut hanyalah omong kosong, yang tidak perlu ditanggapi.

                "Kakak udah makan? Masih ada ikan goreng sama sayur bayam, tuh." ujar Acha.

                "Udah, kok. Untuk besok kamu sarapan aja," balas Sekala, "Jangan lupa, bayamnya dibuang. Kalau kamu masaknya pagi, sekarang udah nggak bisa dimakan."

                "Iya, tau. Kakak udah bilang berjuta-juta kali."

                "Dan kamu pun melupakannya berjuta-juta kali pula."

                Acha mengerucut. Ia bahkan tidak ingin menjadi sosok yang ceroboh dan pelupa seperti ini. Sekala hendak membuka mulutnya, tetapi Acha lebih dulu berlari ke kamarnya. Gadis itu sangat paham ketika Sekala akan berceramah panjang lebar. Hal tersebut patut dihindari oleh Acha karena dia sangat malas jika mendengar Sekala berbicara tidak henti.

                Sekala menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tingkah adiknya itu. Tiba-tiba saja, terlintas dibenaknya dengan kejadian dua hari yang lalu, ketika ada seseorang perempuan yang diselingkuhi pacarnya di coffeeshop, dimana ia tengah bekerja. Bahkan ia terlibat di sana. Perempuan itu menggandeng lengannya dan mengaku ke pacarnya, kalau ia berpacaran dengan Sekala. Jujur saja, Sekala terkejut dengan perlakuan tiba-tiba itu karena niatnya hanya mengantarkan pesanan perempuan itu.

                Ketika perempuan itu keluar dari toko, si pria yang selingkuh ini berdecak kesal dan ikut keluar, tetapi mengambil arah yang berbeda dari si perempuan. Ah, mungkin pria ini merasa risih karena menjadi tontonan banyak orang. Tetapi, menurut Sekala, wajar saja karena itu kesalahannya. Tidak ada yang membenarkan perselingkuhan.

                Tetapi, entah kenapa, ia pun ikut keluar, menyusul perempuan itu dengan segelas caramel macchiato pesanannya.

                Walau ia mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari gadis itu, Sekala tidak memasukkannya ke hati. Baginya, seseorang yang tengah patah hati, bisa saja melakukan hal-hal yang diluar nalar. Perempuan itu hanya emosi dan terlontar kepadanya karena saat itu, hanya dirinya yang tersambung dengan perempuan itu. Wajar saja.

                Sekala mengambil sebuah catatan kecil dengan sampul jeans polos dan membuka lembaran yang kosong. Ia menuliskan sebait puisi di sana.

                Si Caramel Macchiato

                Sendumu mengingatkanku pada hujan

                Terasa dingin dan menyedihkan

                Kuharap, kamu seperti pelangi

                Yang akan tersenyum setelah semua titik kelam itu pergi

                Sekala menutup catatannya, yang ia beri nama Bait-bait Sekala. Ia kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur, lalu memejamkan kedua matanya, dan berharap untuk sesuatu.

                Sekala berharap, perempuan itu dapat tersenyum kembali. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan berlalu.

****

Dandelion dan AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang